Yogyakarta, 6 Juli 2023─Aktivisme sosial-budaya dan seni dalam menyuarakan isu-isu minoritas hingga perlindungan lingkungan terus meningkatkan usaha melalui kolaborasi antarsektor dan pemanfaatan platform-platform yang beragam. Menyoroti persoalan demikian, panel kelima dari rangkaian kegiatan Australia-Indonesia in Conversation: Valuing Democracy and Diversity: Equity, Leadership, and Social Justice membahas isu “Socio-cultural activism and arts for change” pada Kamis (06/7) di ruang BE 210, FISIPOL dan Zoom Meeting.
Perubahan iklim (climate change) yang merupakan isu nasional bahkan global menjadi sorotan penting sebagai agenda yang harus digiatkan untuk menjaga kelangsungan alam dan manusia. Dalam acara tersebut, Ewa Wojkowska selaku Founder dan COO Kopernik mempresentasikan kontribusi yang telah dilakukan Kopernik dalam mengkampanyekan isu lingkungan, khususnya sampah plastik. Kopernik menggandeng Navicula, berkolaborasi dengan Erick EST menciptakan lagu untuk mempromosikan gerakan aktivis sosial dan lingkungan melalui lagu berjudul “Terus Berjuang” di tahun 2016 lalu. Tak hanya itu, Kopernik juga menggarap dokumenter yaitu “Plastic Island” yang telah tayang di Netflix.
“Kolaborasi terbesar sampai hari ini adalah projek documenter berjudul “Pulau Plastik” untuk meningkatkan awareness masyarakat terkait penggunaan plastik sekali pakai dan advokasi untuk perubahan kebijakan,” jelas Ewa.
Kolaborasi antara pegiat lingkungan dan peneliti dengan musisi pada Kopernik juga tercermin pada program IKLIM yang diusung salah satunya oleh I Gede Robi Supriyanto, seorang musisi dan aktivis sekaligus Pendiri Akarumput.com. Robi mengatakan bahwa kolaborasi dan memanfaatkan beragam medium diharapkan dapat lebih menjangkau suara kepada orang-orang berpengaruh, pemerintah, hingga para jurnalis media untuk lebih mengangkat isu-isu penting, khususnya isu ekologi dan perubahan iklim, dapat menjadi prioritas isu yang digarap dan diperhatikan oleh pemilu yang akan datang.
Sementara itu, Natalie King, Profesor Visual Arts dari University of Melbourne juga menyoroti bagaimana seni visual juga berkontribusi pada pengenalan sejarah hingga menyuarakan suara orang-orang termarjinalkan. Salah satunya melalui projek “Paradise Camp by Yuki Kihara” yang merepresentasikan kelompok minoritas yakni Fa’afine di Samoa dan ditampilkan lewat pameran Venice Biennale 2022. Menurut Natalie, creative artist memiliki peran penting terkait imajinasinya dalam menyampaikan isu-isu penting, khususnya pada merepresentasikan suara kelompok minoritas atau yang termarjinalisasikan di masa lalu maupun masa depan.
Dari diskusi yang dibawakan oleh para ahli dan pegiat lingkungan hingga sejarah tersebut dapat ditemukan bahwa isu perubahan baik lingkungan, Hak Asasi Manusia, dan hak minoritas terus diupayakan dan dikembangkan lewat beragam langkah-langkah kreatif. Baik memanfaatkan medium seperti media sosial maupun kegiatan promosi seperti pameran seni, pameran warisan budaya, musik, festival, hingga film. (/dt)