
Yogyakarta, 24 Juli 2025—Prof. Dr. Nur Rachmat Yuliantoro resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Pembangunan Internasional di Asia Timur, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Dalam pidatonya, ia menyoroti persoalan pinjaman atau utang dalam proyek Belt and Road Initiative (BRI) luar negeri yang menuai perdebatan pada hubungan antara Indonesia dan Cina. Perspektif Prof. Rachmat membuka pandangan luas yang menimbulkan kekhawatiran terhadap finansial dan stabilitas nasional.
Disampaikan Prof. Rachmat, masalah utang luar negeri Indonesia kepada Cina dapat dibaca sebagai sebuah “simpul Gordian,” atau fenomena yang tidak bisa dianalisa dengan pendekatan konvensional. Kasus tersebut mencerminkan keterikatan kompleks antara ketergantungan ekonomi, tantangan kedaulatan wilayah, dan kepentingan politik elite domestik. “Dalam konteks ini, Indonesia menghadapi tidak hanya persoalan finansial untuk membiayai pembangunannya, tetapi juga tantangan besar bagi politik dan keamanan nasional, sehingga kita perlu memahami dinamika hubungan bilateral dan urgensi kehati-hatian dalam kebijakan luar negeri yang harus diambil,” ucapnya pada Kamis (24/2).
Pembangunan nasional pada dasarnya digunakan untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat. Sayangnya, menciptakan pembangunan memerlukan perspektif yang holistik tidak hanya berpacu pada satu orientasi modernisasi yang beresiko menghilangkan nilai-nilai lokal. Salah satu tantangan yang seringkali muncul adalah kesenjangan struktural dalam ekonomi global. Situasi ini membuat negara maju mendapatkan keuntungan, sedangkan negara berkembang sulit mencapai pertumbuhan jangka panjang. Menurut Prof. Rachmat, kesenjangan ini adalah bentuk baru dari kolonialisme yang membuat negara berkembang terus bergantung pada rantai ekonomi kapitalis.
“Dari sanalah muncul dekolonialisasi untuk mempertanyakan dominasi pandangan dan metode Barat melalui kerja sama antar negara berkembang,” ungkap Prof. Rachmat. Nafas ini diwujudkan dalam sejumlah kerja sama, seperti Kerja Sama Selatan-Selatan (KSS). Menilik kasus di Afrika, dana pembangunan nasional banyak disalurkan oleh Cina sebagai donatur. Cina dianggap sebagai mitra kolaborasi internasional yang baik. Kendati demikian, banyak orang yang khawatir akan kehadiran Cina yang menimbulkan “ketergantungan” atau jebakan utang dalam kerja sama tersebut.
Hal yang sama terjadi dalam kasus pembangunan BRI dengan Cina. BRI merupakan upaya strategis penting yang bertujuan untuk memperdalam konektivitas infrastruktur, meningkatkan arus perdagangan, dan mendorong integrasi ekonomi antara Asia Timur dengan berbagai kawasan lainnya. Dilaporkan setidaknya terdapat 71 proyek BRI yang disponsori oleh Cina. Salah satu proyek tersebut adalah proyek Kereta Cepat Whoosh yang senilai RP76,95 triliun. Namun ternyata terjadi pembengkakan hingga Rp114,1 triliun yang menyebabkan Indonesia harus menutup dengan biaya APBN dan memiliki hutang terselubung dengan Cina.
“Tidak dapat dipungkiri bahwa investasi besar-besaran Cina telah mendatangkan manfaat bagi perkembangan pembangunan infrastruktur, namun terdapat kekhawatiran yang meluas akan semakin tingginya ketergantungan terhadap Cina,” tambah Prof. Rachmat. Baginya, kebijakan pembangunan perlu dilandaskan pada kehati-hatian terhadap berbagai faktor yang dirasa dapat menimbulkan resiko keamanan dan stabilitas negara di kemudian hari.
Prof. Rachmat merupakan guru besar 538 guru besar aktif di UGM, sedangkan di tingkat fakultas merupakan salah satu dari 23 dari 39 guru besar yang pernah dimiliki Fisipol UGM. Ketua Dewan Guru Besar UGM, Prof. Dr. M. Baiquni, M.A. memberikan selamat dan apresiasi atas dikukuhkannya Prof. Rachmat sebagai guru besar bidang hubungan internasional. Harapannya, buah pikir dan karyanya dapat berkontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat. (/tsy)