Public Lecture Festival Film Dokumenter: Menilik Sejarah Sosial-Politik di Indonesia Lewat Film

Yogyakarta, 4 Desember 2019—Perhelatan Festival Film Dokumenter (selanjutnya disebut FFD) resmi dimulai sejak Minggu, 1 Desember 2019 dan akan berakhir pada Sabtu, 7 Desember mendatang. Pelaksanaan festival film di lingkup Asia Tenggara tersebut mengambil beberapa tempat yang berbeda di Yogyakarta: Taman Budaya Yogyakarta, IFI-LIP Yogyakarta, dan Kedai Kebun Forum.

Sebagai salah satu rangkaian acara FFD, pada Rabu, 4 Desember lalu, dilaksanakan Public Lecture bertemakan Indonesian Cinema after the New Order: Going Mainstream. Acara dilaksanakan di Ruang BA101 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Sejak pukul 10.00, audiens sudah memenuhi ruangan. Dalam acara, hadir pula Lulu Ratna dan Fransiska Prihadi. Keduanya jamak dikenal masyarakat sebagai tokoh yang aktif di banyak perhelatan festival film di Indonesia, baik sebagai kurator maupun juri.

Adalah Thomas Barker yang menjadi pembicara dalam acara tersebut. Ia merupakan akademisi dari University of Nottingham, Inggris. Sebagai akademisi, Thomas fokus terhadap riset tentang sinema. Pada public lecture kemarin, ia membahas soal sejarah perkembangan perfilman di Indonesia, berikut konteks sosial dan politiknya.

Kepada audiens, Thomas mengutarakan bahwa tokoh penting perkembangan film di Indonesia adalah Usmar Ismail. Sebagai tokoh, Usmar Ismail banyak dipuja atas nama perfilman nasional. Pada masanya, muncul beberapa film fenomenal seperti Darah dan Doa (1950) dan The Long March (1950). Kedua film tersebut, jelas Thomas, bisa disebut sebagai dua film Indonesia pertama.

“Di masa Usmar Ismail, pembuat film masih dianggap sebagai pekerja seni. Mereka punya ide dan eksplorasi sinema yang otentik,” tambahnya. Selain itu, Thomas banyak membahas soal keadaan perfilman nasional di masa Orde Baru. Orde Baru yang kita kenal represif memang banyak memberi batasan terhadap berbagi produk kesenian, tak terkecuali perfilman. Film-film yang berpotensi menentang penguasa dibatasi dan—kadang—diberangus.

“Karena hal tersebut, Orde Baru memang mematikan industri perfilman di Indonesia. Pada masa itu, anak muda tidak suka menonton film. Mereka lebih gemar mendengarkan banyak musik yang notabene adalah budaya barat,” jelas Thomas dalam bahasa Inggris. Kita tahu, pada masa Orde Baru, budaya popular dari Barat memang mendapat tempat yang subur untuk berkembang.

Meskipun mengalami stagnansi di masa Orde Baru, pada awal Reformasi, muncul banyak tokoh yang memberi ruang bagi perkembangan film secara drastis. Kemunculan sebuah film drama black-comedy berjudul Kuldesak (1998) yang digawangi oleh Riri Riza, Mira Lesmana, Nan Achnas, dan Rizal Mantovani menjadi titik perubahan industri perfilman Indonesia. Kuldesak adalah angin segar bagi insan perfilman Indonesia setelah puluhan tahun sesak oleh represivitas Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto. (/Snr)