Yogyakarta, 11 Oktober 2023─Hari Kesehatan Mental Sedunia tanggal 10 Oktober disambut CDC Fisipol dengan menggelar rangkaian kegiatan lewat Mental Health Society 2023. Talkshow bertema “No Hustle, No Future?: How to Develop Resilience in A Hustle Culture” menjadi pembuka pekan acara kesehatan tersebut yang diselenggarakan pada Rabu (11/10) di Auditorium Fisipol. Melalui talkshow yang dihadiri oleh Psikolog Klinis – Ernawati Widyaningsih, M.Psi., Psikolog, Mother of Bhumi Bhuvana – Bukhi Prima Putri, dan mental health fighter – Maygsi Suwadi, S.Sos., M.A, CDC mengajak untuk lebih memahami kesehatan mental.
Mental Health Society sudah dilaksanakan sejak tahun 2019 tepat pada hari Kesehatan Mental sedunia, 10 Oktober dan bertujuan untuk mengajak kembali agar lebih peduli pada isu kesehatan mental. Adapun, rangkaian agenda Mental Health Society yang sejalan dengan SDGs 3 (Kehidupan Sehat dan Sejahtera) tahun ini dimulai dari Talkshow, Meronce Spot, Yoga sore di Fisipol, Spill The Tea: Tea Time & Pop Up Artisan Tea, dan ditutup dengan Katarsis: Mari Berkisah.
Lewat tema tahun ini, yakni “No Hustle, No Future?: How to Develop Resilience in A Hustle Culture” mengulas tentang hustle culture yang saat ini sedang tren di kalangan generasi muda. Hustle culture merupakan sebuah mentalitas atau cara pandang yang membudaya dan menjadi gaya hidup, atau jaman dulu disebut workaholic (gila kerja).
“Ada addiction yang tidak bisa dikontrol sehingga waktu kerja melebihi batasnya, ada pemikiran harus produktif,” jelas Erna.
Dampak dari hustle culture menurut Erna dapat dilihat melalui empat aspek, yaitu cara berpikir, cara merasakan, dan cara berperilaku yang kemudian tiga hal tersebut dicerminkan melalui interaksi sosialnya. Seperti ruminasi pikiran yang bisa menjadi racun, perasaan rendah diri dan bersalah, menjadi apatis, hingga perasaan overwhelmed dan burnout yang bisa memicu kecemasan hingga depresi.
Hustle culture saat ini berkembang dan menimbulkan fenomena seperti toxic productivity, yaitu dorongan untuk terus “menghasilkan” atau “melakukan sesuatu” dan mengakibatkan produktivitas sebagai racun. Akibatnya, orang merasa bersalah ketika dirinya tidak produktif atau tidak melakukan dan menghasilkan sesuatu. Padahal akan lebih baik jika lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas ketika memilih prioritas yang harus dilakukan.
Bukhi sebagai orang yang pernah mengalami masalah kesehatan mental membagikan langkah-langkah yang dilakukan selama masa penyembuhannya. Seperti melakukan observasi diri tanpa menghakimi, melakukan eksplorasi dengan bertanya pada diri sendiri, berinteraksi dengan teman atau mengikuti kegiatan seminar kesehatan mental, melakukan aksi dengan jurnaling, serta evaluasi dari proses yang telah dilakukan.
“Kita kadang perlu mencoba ‘hening’, ketemu sama diri sendiri bukan sama orang lain. Menyingkirkan noise untuk nemuin kita pengennya apa,” jelas Bukhi. Bukhi juga menambahkan bahwa aktivitas lain seperti berbenah, berkebun, hingga makan makanan sehat dan bersih dapat mendukung kesehatan mental yang lebih baik.
Sementara itu, sebagai seorang mental health fighter hingga saat ini, Maygsi membagikan upaya-upaya yang dilakukan ketika berhadapan dengan kegiatan professional seperti bekerja. Diantaranya yaitu menyelesaikan pekerjaan ketika mood sedang baik, menciptakan lingkungan yang produktif dan mengurangi distraksi, memecah tujuan menjadi langkah kecil agar tidak terasa berat, mengelilingi diri dengan orang yang mendorong pengembangan diri, serta menyeimbangkan kesejahteraan diri dengan pekerjaan (work-life balance).
Selain itu, perlu diingat bahwa hustle culture bukan sebuah diagnosa melainkan sebuah fenomena. Bagi teman-teman yang merasa kesulitan, jangan takut untuk meminta pertolongan pada professional seperti psikolog atau psikiater. Lewat CDC Fisipol, civitas akademika Fisipol UGM memiliki hak untuk mengakses layanan kesehatan mental seperti konsultasi kepada peer-counselor maupun psikolog CDC. (/dt)