Sambut Pemilu 2024, Dekan Fisipol UGM: Rakyat Masih Jadi Penonton

Yogyakarta, 30 Agustus 2023—Pemilihan umum (Pemilu) merupakan fitur esensial bagi setiap negara demokrasi, termasuk Indonesia. Pemilu 2024 menjadi perhelatan politik yang kompleks sekaligus penentu kualitas demokrasi Indonesia. Kompleksnya Pemilu 2024 tergambarkan dari lima hak suara yang akan dimiliki oleh voters secara serentak, mulai dari Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) hingga Pemilu Legislatif (Pileg) untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD. Merespons kompleksitas Pemilu 2024, Fisipol UGM kembali menyelenggarakan Fisipol Leadership Forum (FLF) dengan mengundang Ketua KPU DI Yogyakarta, Hamdan Kurniawan pada Rabu (30/8).

“Kalau kita bicara tantangan jumlahnya pasti akan sangat banyak,” ujar Hamdan mengawali sesi diskusi. Hamdan menyoroti tiga isu krusial dalam penyelenggaran pemilu, mulai dari maraknya berita bohong, kekerasan dalam pemilu, dan keselamatan penyelenggara pemilu. 

Mendiskusikan Pemilu 2024 memanglah penting mengingat tantangan-tantangan telah dan akan terus bermunculan, termasuk yang berhubungan dengan politik identitas, politik uang, dan posisi voters atau rakyat dalam pemilu. “Tampaknya kita masih menjadi penonton dan setiap hari disuguhi hasil survei terkait dengan popularitas. Sangat sedikit yang bicara soal program, masih sangat sedikit yang bicara soal akan ke mana bangsa ini akan dibawa dan dikelola,” ucap Dekan Fisipol UGM, Dr. Wawan Mas’udi.

Senada dengan keresahan Dr. Wawan Mas’udi, Dosen Fisipol UGM, Mada Sukmajati juga menyebutkan bahwa dengan berkaca dari pengalaman Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump, nasib demokrasi Indonesia akan ditentukan sekali oleh Pemilu 2024. Menurutnya, lewat Pemilu 2024 kualitas demokrasi akan sangat ditentukan oleh penyelenggara pemilu, voters, dan peserta pemilu.

Hadir mengikuti diskusi, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Hurriyah mengatakan bahwa masih ada gap di antara demokrasi prosedural dan substansial. Ia juga mengkritisi desain regulasi dan aturan main yang dibuat oleh KPU dan Bawaslu belum mampu menjawab dan mengantisipasi tantangan yang muncul. “Aturan-aturan main yang dibuat oleh KPU itu selalu berdasarkan asumsi normatif kepatuhan para peserta pemilu,” sebut Hurriyah. Menurutnya, imbas dari cara pandang KPU ini adalah banyaknya produk aturan yang muncul dan dibarengi dengan pelanggaran di mana-mana.

“Aturan mainnya tidak dibuat untuk mengidentifikasi apa saja potensi-potensi pelanggaran yang akan dilakukan peserta pemilu dan bagaimana aturan mainnya itu dibuat untuk mengunci ruang-ruang pelanggaran tersebut. Ini yang menurut saya harus dijawab oleh KPU dan Bawaslu,” imbuhnya. 

Tantangan lain yang muncul adalah mengenai representasi perempuan di dalam politik. Pimpinan Dewan Mahasiswa (Dema) Fisipol UGM, Maskana Putri Salwa menggarisbawahi pentingnya keberlanjutan representasi perempuan di ranah elektoral. “Yang perlu diperhatikan adalah bahwa ini [representasi perempuan] memang harus dijalankan secara longitudinal dan berulang-ulang agar kemudian perempuan ini semakin banyak yang ikut,” tutur Maskana. (/gmb)