Seminar Nasional POLGOV: Menggagas Legislasi Cipta Kerja dan Dampak Implementasi Undang-Undang

Yogyakarta, 2 Maret 2023─POLGOV UGM gandeng WFD selenggarakan seminar nasional bertajuk “Legislasi Cipta Kerja: Menggagas Solusi Permasalahan Hukum dan Potensi Dampak Pelaksanaan Undang-Undang” secara hybrid di Auditorium BA Lantai 4 FISIPOL UGM dan melalui Zoom Meeting (02/3). Diskusi ini menyoroti proses pembuatan kebijakan sekaligus dampak implementasi Undang-Undang, khususnya Undang-Undang Cipta Kerja di Indonesia.

Seminar ini terbagi dalam dua sesi. Sesi pertama diisi oleh Franklin De Vrieze (Head of Practice for Accountability WFD), Dr. Inosentius Samsul (Kepala Badan Keahlian DPR RI), Dr. Mahaarum Kusuma Pertiwi (Dosen Fakultas Hukum UGM), Prof. Purwo Santoso (Guru Besar Ilmu Politik UGM), dan dimoderatori oleh Agus Wijayanto (Indonesia Country Representative WFD). Sesi kedua diisi oleh Rafel Jimenez-Aybar (Environmental Democracy Adviser WFD), Al Khanif, Ph.D (Direktur Eksekutif Centre for Human Rights, Multiculturalism, and Migration Fakultas Hukum Universitas Jember), Dr. Wahyu Yun Santoso (Dosen Fakultas Hukum UGM), Dr. Amalinda Savirani (Dosen Departemen Politik Pemerintahan UGM), dan dimoderatori oleh Dr. Arie Ruhyanto (Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM).

Dalam diskusi ini diperkenalkan kembali tentang Post-Legislative Scrutiny (PLS) yaitu suatu mekanisme pengawasan implementasi legislasi. Sedangkan RIA (Regulatory Impact Assessment) adalah sebuah alat kebijakan untuk menentukan bagaimana mencapai tujuan kebijakan. Melalui hasil diskusi ini diharapkan dapat menjadi kontributif terkait penyelesaian masalah policy making ke depan. 

Dalam proses pembuatan kebijakan di Indonesia, ditemui bahwa banyak Undang-undang yang tidak jelas referensinya bahkan kerangkanya tidak kuat. Diskusi parlemen yang dilakukan selama policy making seringkali berputar-putar dan tidak terarah. Oleh karenanya, implementasi PLS yang didukung RIA akan mendorong proses pembuatan kebijakan lebih baik.

Post-Legislative Scrutiny dalam proses legacy making di Indonesia sudah terbangun sistemnya. Hal ini seperti disampaikan Inosenti bahwa, “Sebagian UU saat ini di ketentuan penutup telah dicantumkan bagaimana pemantauan pemerintah harus melaporkan atau badan legislasi akan melakukan evaluasi terhadap UU ini.”

Metode Omnibus Law yang banyak mendapat demo dari berbagai kalangan ini menurut Inosenti perlu dilihat dari segi positifnya yaitu tentang mengubah cara kita berlegislasi, cara bagaimana berpikir membuat UU, dan menumbuhkan meaningful participations.

Mahaarum, terkait UU Cipta Kerja (UUCK) memprediksikan skenario pasca putusan MK terkait perubahan formil pada UP3 (Undang-undang tentang Pembentukan Perundang-Undangan). Ini dilakukan dengan mengubah metode pembentukan UU dan memasukkan omnibus law ke perubahan UU 12/2011.  

Sedangkan menurut Prof. Purwo Santoso, ditolaknya formalitas hukum (termasuk Omnibus Law ini) dikarenakan praktik pemerintah yang tidak baik atau partisipasi yang tidak baik dan tidak meaningful. Menurutnya, jika ingin membakukan meaningful participant maka perlu naskah akademik yang jadi wadah mengkomunikasikan kebijakan. Prof. Purwo juga menyoroti pada proses yang ada di parlemen dianggap masih gagap karena tidak terbiasa merangkai kebijakan sebagai titik temu tiga hal, yaitu proses, konteks, dan substansi.

Dalam sesi kedua dibahas lebih lanjut tentang dampak pelaksanaan UU Omnibus Law yakni UU Cipta Kerja. Proses legitimasi UU Cipta Kerja telah menimbulkan pro-kontra dalam berbagai kalangan, termasuk serikat buruh pekerja yang dianggap sangat terdampak atas pengesahan UU tersebut. Omnibus Law dalam tata kelola lingkungan juga menimbulkan perdebatan kaitannya dengan kebijakan izin investasi yang digemborkan sebagai solusi. 

“UUCK ini berkaitan dengan flexibility of labor market yang nantinya akan berdampak ke semua generasi,” jelas Amalinda.

Pemerintah dalam menanggapi demonstrasi publik justru mendiskreditkan dengan pertanyan “belum baca kok sudah bilang gak cocok”. Padahal egosectoral juga semakin membesar karena orang-orang hanya akan membaca bagian kebijakan yang berkaitan dengan mereka. Oleh karenanya meaningful participant perlu ditingkatkan lagi dengan implementasi PLS yang lebih memerhatikan knowledge management sebagai supply informasi, tidak hanya bagi pembuatan kebijakan namun juga masyarakat umum. (/DT)