Seri Psikoedukasi CDC Fisipol UGM: Bangun Hubungan Positif, Hilangkan Toxic Relationship

Yogyakarta, 4 Juni 2020—Career Development Center (CDC) Fisipol UGM kembali menghadirkan live session seri psikoedukasi yang membahas topik mengenai  toxic relationship bersama Dina Wahida, psikolog CDC dan dipandu oleh Davin Ezra Pradipta selaku peer counselor CDC Fispol melalui kanal  Instagram @cdcfisipolugm. “Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup sendiri apalagi di tengah pandemi, se-introvertnya orang, tetap butuh berhubungan dengan orang lain untuk berbagi dan bercerita. Kita butuh kelompok dan orang lain dalam kehidupan kita sehari-hari,” ujar Dina membuka sharing session.

“Yang dimaksud dengan toxic relationship, secara psikologi merupakan hubungan tidak baik yang terkadang dibungkus secara positif. Hubungan bisa menjadi toxic karena sering dianggap norma budaya dan kebiasaan kita, misalnya seorang ibu yang menuntut anaknya dianggap wajar, atau seorang laki-laki yang memaksa perempuan untuk memasak,” ujar Dina. Dina memaparkan, hubungan yang dibangun dengan cara toxic seperti perhitungan dan sering mengungkit masa lalu bisa menjadi masalah. “Menghitung siapa yang paling dirugikan, siapa yang paling berperan, maupun mengungkit masa lalu demi mengalihkan permasalahan yang ada saat ini akan menciptakan hubungan yang toxic,” ujar Dina.

Dina menjelaskan, bahwa di dalam hubungan, konflik sebenarnya dibutuhkan agar kita bisa melakukan  menajemen konflik dengan baik. Namun apabila hubungan yang toxic terus menerus belangsung, konflik malah akan memupus hubungan yang baik. “Yang tadinya yakin jadi ragu, yang tadinya dekat jadi jauh,” ujar Dina. Selain sering melakukan perhitungan dan mengungkit masa lalu, pola perilaku yang toxic juga bisa berbentuk pasif agresif,  yaitu  seolah tidak ingin menyakiti orang lain dengan cara menyindir atau mengkode. “Cara seperti ini membuat hubungan menjadi tidak terbuka dan meningkatkan judgement,” ungkap Dina.

“Saling menyalahkan, ini juga klasik banget dalam hubungan. Dampak yang paling besar karena blaming itu seperti bullying, jadi tertekan. Ada juga cemburu atas nama cinta seperti overprotective. Bisa juga “menyogok” misalnya setelah marahan dikasih hadiah. Sebaiknya tulus aja memberi hadiah, bujan karena  minta maaf,“ ujar Dina.

Bagi Dina, penting bagi kita untuk memiliki hubungan positif yang dapat dimulai dengan beberapa cara. Pertama, appreciation and affection untuk mengapresiasi siapapun yang peduli dengan kita. Kedua, membangun dan menjaga komunikasi positif meskipun telah mengenal secara dalam satu sama lain. Ketiga, meluangkan waktu bersama untuk santai. “Bersenang-senang bersama itu penting untuk punya waktu yang berkuallitas, jadi tidak memberatkan salah satu pihak. Kan terkadang ada yang sukanya terserah-terserah,” ujar Dina.

Satu hal yang penting untuk dilakukan menurut Dina, adalah membuat value atau nilai bersama.   “Karena value adalah kesepatakan yang tidak tertulis, orang jadi tidak punya acuan. Hal paling menantang untuk membuat value adalah lewat mengelola stres bersama dan menjadikan konflik sebagai sebuah peluang untuk menata suatu hubungan,” ungkap Dina.

“Perihal mengelola hubungan di masa pandemi, kita perlu mengubah pola pikir bahwa pandemi bukan satu-satunya halangan. Karena mindset bahwa kita gak bisa kemana-mana dan semuanya serba terbatas. Coba kita ubah mindset kita untuk ambil peluang dan ambil makna apa yang bisa kita dapat,“ ujar Dina sekaligus menutup acara live session pada Kamis siang tersebut. (/Afn)