Sharing Session C-Hub: Hidupkan Kebaikan Lewat Aktivisme Digital

Yogyakarta, 16 April 2020—Sharing Session yang diselenggarakan Creative Hub (C-Hub) Fisipol UGM kembali berlangsung dengan tajuk “Digital Activism Dalam Masa Tanggap Darurat Covid-19” yang diselenggarakan pada Kamis sore silam secara daring. Menghadirkan Suparlan selaku Koordinator Bidang Kebencanaan Yayasan SHEEP Indonesia (YSI) serta Fathin Naufal selaku Founder Gifood, C-Hub mendiskusikan serba serbi aktivisme digital yang bisa dilakukan untuk saling membantu dalam masa pandemi.

Yayasan SHEEP Indonesia atau Society for Health, Education, Environment and Peace merupakan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki mandat untuk melakukan pemberdayaan masyarakat di bidang Kesehatan, Pendidikan, Kelestarian Lingkungan Hidup dan Perdamaian. Menurut Suparlan, yang membedakan bencana Covid-19 dengan bencana lainnya adalah sifatnya yang non-alam. Dalam menangani bencana ini, protokol yang digunakan adalah protokol kesehatan dan protokol risiko krisis. “Saat ini kita sedang dalam fase krisis manajemen, karena minimnya perlindungan masyarakat rentan, tidak ada protokol yang didorong pemerintah dan tidak ada yang disepakati, makannya ada tindakan yang berbeda-beda di masing-masing wilayah, misal ada yang melakukan penyemprotan disinfektan, namun ada juga yang sekadar pendataan,” ujar Parlan.

Parlan menambahkan, berdasarakan UU No. 24 Tahun 2007 mengenai tanggap darurat,  terdapat enam langkah yang perlu ditempuh dalam penganggulangan bencana atau emergency response phase yakni evakuasi korban, penanganan korban terluka dalam hal ini pasien ODP maupun PDP, pemberian makanan bagi masyarakat yang membutuhkan, penyiapan shelter yaitu karantina, pelayanan kesehatan dan penyediaan air  bersih serta sanitasi.

Melalui kondisi tanggap darurat tersebut, SHEP berusaha menjawab permasalah dengan melakukan sosialisasi kesehatan melalui film pendek beserta poster pencegahan Covid-19 dengan berbagai bahasa daerah. Edukasi tersebut juga bekerjasama melalui supporting system tokoh yang berperan aktif di desa-desa.

Selanjutnya, Fathin Naufal Nur Islam selaku Founder Gifood menjelaskan bahwa inovasi digital menjadi solusi yang sesuai ketika harus melakukan physical distancing, namun diperlukan analisis secara tepat agar inovasi yang diciptakan sesuai dengan keinginan masyarakat. “Kita perlu user needs untuk memahami betul keinginan customer, seringkali kita memakai asumsi padahal belum tentu itu yang dibutuhkan, kita harus kembali ke consumer atau user centered,” ujar Naufal.

Di Indonesia sendiri, inovasi sosial memiliki potensi yang besar. Dilihat melalui indeks kedermawanan masyarakat Indonesia yang menempati urutan pertama di dunia berdasarkan riset Charities Aid Foundation (CAF) dilansir oleh Jakarta Post pada 2018 silam, potensi tersebut membuka peluang kolaborasi social enterprise secara luas.

Naufal sendiri bersama Gifood mengambil kesempatan untuk menjadi solusi permasalahan food waste di Indonesia yang menempati urutan kedua di dunia. Gifood menghubungkan pihak yang memiliki makanan berlebih dengan pihak yang membutuhkan. “Selama ini masalah masyarakat bukan karena kekurangan makanan, tapi minim akses dengan yang orang yang punya makanan berlebih.” ujar Naufal.

Melalui hal tersebut, ia dan timnya senatiasa mengembangkan usahanya yang baru-baru ini bekerjasama dengan Baznas Bazis DKI Jakarta bernama program “Bagiipiring”. Melibatkan delapan puluh lebih warung makan seperti warteg maupun UMKM, program Bagiipiring membantu para lansia dan difabel di masa pandemi Covid-19 memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Banyak hal simpel yang bisa kita lakukan untuk kebaikan, dan jangan lupa untuk berkolaborasi. Kuncinya pahami, inovasi dan kolaborasi,” tutup Naufal mengakhiri diskusi kali ini. (/Afn)