Yogyakarta, 2 Mei 2024—Setiap negara memiliki siklus usia kependudukannya masing-masing. Indonesia pada tahun 2030-2040 mendatang akan mengalami bonus demografi. Setelah itu, usia penduduk tua akan meningkat. Fase ini akan membuat negara harus menanggung beban yang lebih besar dibanding ketika mayoritas penduduk berada di usia produktif. Untuk mengetahui langkah tepat menangani hal tersebut, Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PsDK) Fisipol UGM menggelar webinar bertajuk “Kota Ramah Lansia: Menciptakan Lingkungan Inklusif dan Layak Huni untuk Semua Lansia” pada Senin (29/4).
Webinar ini menghadirkan tiga pembicara utama, yakni Prof. SHI Cheng, dari Lingnan University, Tauchid Komara Yudha, MDP dari Departemen PsDK Fisipol UGM, dan Sapta Widi Wusana, S.Psi., M.A dari Elderly Rights Advocacy Treatment (ERAT). Ketiganya membahas isu ini melalui perspektif yang berbeda. Prof. SHI Cheng, memaparkan bagaimana Hongkong menangani populasi penduduk tua yang terus meningkat, bahkan akan melebihi Jepang di tahun 2050 mendatang. “Usia penduduk tua akan terus dialami oleh setiap negara. Banyak pendapat berbeda terkait hal ini, karena produktivitas negara tentu akan berkurang. Tapi ada indikasi yang bagus sebenarnya dari penduduk tua, di mana Angka Harapan Hidup (AHH) sebuah negara terindikasi lama,” paparnya.
Prof. SHI Cheng menjelaskan, dunia harus menghadapi membeludaknya penduduk usia tua pada tahun 2050. Diperkirakan 1 dari 6 orang di dunia akan berusia 65 tahun dengan total hampir 2 milyar total penduduk dunia. Fenomena penduduk tua tidak hanya sekedar penuaan beberapa penduduk secara fisik, namun juga memunculkan isu-isu lainnya. Individu dengan usia lanjut sering dikaitkan dengan lemahnya fisik, penampilan yang tidak lagi menarik, kebutuhan khusus, dan lain-lain, di mana stereotip ini menyebabkan ketimpangan dan diskriminasi dalam kelompok tertentu.
“Penuaan tidak bisa dihindari, tapi isu tentang usia penduduk tua bisa kita atasi. Pertama-tama, stereotip terhadap individu usia lanjut harus diluruskan. Orang tua itu bisa sehat, fashionable, dan tetap semangat. Mereka bisa berbagai wawasan dan pengetahuan kepada kelompok usia yang lebih muda,” terang Prof. SHI Cheng. Banyak individu kelompok lansia yang masih sehat bugar dan berkemampuan untuk melakukan pekerjaan atau kegiatan tertentu. Sayangnya, stereotip tentang lansia justru membuat mereka tidak mendapatkan kesempatan tersebut. Hal ini tentunya sangat menentukan produktivitas sebuah negara. Meskipun tidak sebesar kemampuan usia penduduk produktif, penduduk usia lanjut masih dapat mendukung produktivitas sebuah negara.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Sapta Widi Wusana, S.Psi., M.A terkait bagaimana masyarakat perlu merubah perspektif terhadap lansia. Kesiapan sebuah negara bisa dinilai dari anggapan lansia di tengah masyarakat itu sendiri. Kelompok usia lainnya perlu memahami bahwa siapapun akan mengalami masa tua. Ketika seorang individu tidak lagi bisa beraktivitas dengan optimal, maka ia akan cenderung bergantung pada individu lain hanay untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. “Kita sebagai manusia harus memahami bahwa kita setara. Lansia ini mungkin tidak lagi fisiknya kuat, itu bukan sesuatu yang bisa dihindari, tapi bisa disadari. Mednukung lansia ini adalah mendukung seseorang untuk menjadi manusia seutuhnya,” ucapnya.
Selain itu, kesiapan negara menyambut usia penduduk tua juga perlu ditinjau dari segi kebijakan. Tauchid Komara Yudha, MDP menjelaskan, Indonesia belum memiliki kebijakan yang matang untuk mempersiapkan masa usia penduduk tua. Saat ini, jaminan kesehatan tidak sepenuhnya menjamin kesehatan dan kesejahteraan lansia. Setiap individu setidaknya masih harus mengeluarkan 40% dari kantong pribadi untuk biaya kesehatan. Jika dibandingkan dengan kondisi lansia di mana tidak lagi bisa aktif bekerja, fakta ini dinilai mengkhawatirkan.
“Bagi lansia, seharusnya bekerja itu adalah hak untuk memilih. Mereka bisa memilih sebuah kegiatan untuk bisa produktif, dibanding hanya di rumah saja. Tapi di Indonesia, lansia yang bekerja ini adalah cara untuk bertahan hidup, bukan pilihan,” ucap Yudha. Ia menambahkan, seharusnya setiap individu ketika tidak lagi bisa bekerja secara produktif, ia harus mendapatkan kesejahteraan yang ditanggung negara. Namun pada faktanya, hanya sebagian kecil dari kelompok lansia yang masa tuanya ditanggung oleh negara, sedangkan sebagian lainnya masih harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Terselenggaranya webinar ini merupakan salah satu komitmen Fisipol UGM untuk terus mengedukasi dan melakukan sosialisasi akan pentingnya keberlanjutan. Terkhusus pada poin Sustainable Development Goals (SDGs) ke-3, yakni kesehatan dan kesejahteraan, maka setiap individu berhak mendapatkan keduanya secara utuh dan dijamin oleh negara. Harapannya, Indonesia mampu meningkatkan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat non produktif sebelum tahun 2050 mendatang. (/tsy)