Yogyakarta, 28 Mei 2025─Di tengah gencarnya kampanye keberlanjutan dan ramah lingkungan, konsep ESG (Environmental, Social, and Governance) menjelma menjadi standar global baru yang tampaknya menjanjikan masa depan yang lebih adil dan hijau. Namun, apakah ESG benar-benar mampu menciptakan keadilan global? Atau justru menjadi wajah baru dari ketimpangan itu sendiri?
Melalui artikel terbarunya, Megashift FISIPOL UGM mengajak kita melihat lebih dalam bagaimana ESG, yang awalnya digagas sebagai instrumen untuk menilai dampak lingkungan dan sosial dari praktik bisnis, kini banyak digunakan sebagai tameng oleh aktor-aktor global dalam mempertahankan sistem pembangunan neoliberal. Alih-alih menghadirkan solusi, ESG kerap kali justru digunakan sebagai bentuk baru greenwashing—upaya mencitrakan diri ramah lingkungan tanpa perubahan nyata terhadap struktur ketimpangan.