Talk 3 Session 1 Digitalk #39 CFDS: Artificial Intelligence, Manfaat atau Celaka?

Yogyakarta, 23 April 2020— Jun-E Tan, peneliti independen bidang Komunikasi asal Malaysia, dalam Talk 3 Session 1 Digitalk #39 yang diadakan Center for Digital Society (CFDS) UGM Sabtu (23/04/20) lalu, menggarisbawahi kedua hal tersebut. Menurut Jun, keberadaan AI memang berguna bagi manusia untuk, menurut istilahnya, “menyelesaikan urusan”.

Bagi pemerintahan sebuah negara, artificial intelligence (AI) kerap digunakan dalam pelaksanaan program pembangunan. Namun di sisi lain, penggunaan AI juga dapat berakibat buruk. Salah satunya ialah mengancam pemenuhan hak asasi manusia.

“AI yang kita kenal sebagai machine learning melakukan itu lewat pengolahan data,” kata Jun. Di bidang pembangunan, Jun memberi contoh pemanfaatan AI di kawasan Asia Tenggara. “Di Asia Tenggara, 26 kota besar yang tersebar di 10 negara sedang berupaya membangun jaringan kota pintar lewat proyek bernama ASEAN Smart Cities Network,” kata Jun.

Adapun proyek tersebut dilaksanakan dengan memfasilitasi kerjasama pembangunan kota pintar antarnegara, katalisasi proyek-proyek perbankan dengan sektor swasta, serta pengamanan pendanaan dan dukungan mitra dari luar Asia Tenggara. Jun memberi contoh lain yang lebih spesifik. Di Malaysia, terang Jun, Kuala Lumpur City Hall bekerja sama dengan Alibaba dalam membangun sebuah sistem bernama Malaysia City Brain. Sistem tersebut berhasil mengurangi kemacetan Kuala Lumpur hingga 60%.

Bagi Jun, hal di atas membuktikan bahwa negara-negara ASEAN sedang tertarik memanfaatkan AI dalam program pembangunan. Hal tersebut, tentu saja, melibatkan banyak pengolahan data dan penggunaan internet. Padahal menurut Jun, jika dilihat dari kesiapan terhadap keduanya, negara-negara ASEAN masih jauh dari cukup. “Di ASEAN, penggunaan internet baru mencapai angka 60%, dan (itu) tak tersebar secara merata di 10 negara,” kata Jun.

Jun mengatakan, tak meratanya persebaran internet juga menandakan tak mampunya setiap negara berpartisipasi dalam pengolahan data. Sementara kita tahu, pengolahan data dalam penggunaan AI bersifat krusial.

Di sisi lain, sebuah pemeringkatan bernama AI Government Index yang dibuat Oxford Insight pada 2019 menunjukkan, negara-negara ASEAN secara umum tergolong belum siap dalam pemanfaatan AI. Dalam pemeringkatan tersebut, hanya Singapore yang memperoleh peringkat satu (1) dunia, sementara sembilan negara lain masih berada di atas dua puluh (20) besar.

Lepas dari soal ketidaksiapan, Jun menyatakan, penggunaan AI juga berdampak buruk terhadap pemenuhan hak asasi manusia. Ia memberi contoh tentang fenomena yang terjadi di Cina, April 2019 lalu. “Di Cina, selama sebulan, pemerintah melakukan 500.000 face scan untuk mendeteksi muslim minoritas. Mereka dibuatkan kamp konsentrasi,” kata Jun. Menurut Jun, fenomena tersebut telah mencederai hak sipil dan politik (Civil and Political Right) warga Cina, di mana setiap orang seharusnya bebas memeluk agamanya masing-masing.

Jun juga memberi contoh lain. Ia menerangkan, penggunaan AI di berbagai negara telah memunculkan sesuatu yang ia sebut “digital dystopia”. Itu ialah fenomena ketika negara-negara menggunakan AI dalam menentukan angka kesejahteraan warganya. Dengannya, menurut Jun, AI membedakan si miskin dan si kaya, sekaligus menentukan siapa yang berhak memperoleh perlindungan sosial dari pemerintah. (/Snr)