Temuan CfDS terkait New Normal pada Pemberitaan Daring dan Twitter

Yogyakarta, 16 Juni 2020—Center for Digital Society (CfDS) FISIPOL UGM menyelenggarakan Konferensi Pers bertajuk “Reaksi Warganet dalam Merespon Wacana New Normal” pada Selasa (16/6). Konferensi pers ini memaparkan hasil riset CfDS terkait tanggapan warganet terhadap wacana new normal yang digulirkan pemerintah, dimana beberapa daerah masuk pada tahap implementasi. Konferensi pers ini dibawakan oleh Dewa Ayu Diah dan  Iradat Wirid, keduanya merupakan peneliti di CfDS.

Dewa memulai dengan penjelasan mengenai new normal atau adaptasi tatanan baru. Sejak digulirkan oleh Presiden Joko Widodo pada 7 Mei 2020, wacana new normal menjadi perbincangan hangat di media. Berangkat dari hal tersebut, CFDS hendak melihat tanggapan warganet terkait wacana new normal. “Kami hendak melihat tidak hanya dari pemberitaan daring tetapi juga di media sosial,” tutur Dewa. Hasil penemuan tim CfDS menunjukkan bahwa terdapat kebingungan dari masyarakat terkait protokol pelaksanaan new normal. Selain itu, beberapa masyarakat juga menganggap bahwa penerapan new normal dirasa terlalu dini.

Terkait dengan metode dan waktu pengambilan data, Dewa menyebutkan bahwa riset ini mengambil data dari portal media atau pemberitaan daring dan sosial media Twitter. Periode pengambilan data di Twitter dilakukan pada 7 Mei hingga 5 Juni 2020. Sedangkan, data dari pemberitaan daring diambil dari 7 Mei hingga 8 Juni 2020.

Dewa memaparkan hasil temuan menarik dari analisis pemberitaan daring. Total 9.232 artikel berita daring diambil dari media-media resmi yang terdaftar di Dewan Pers dengan kata kunci: new normal, relaksasi PSBB, adaptasi kebiasaan baru, protokol kesehatan, hingga pemulihan ekonomi. Dari jumlah artikel tersebut, variasi beritanya mencakup bekerja, belajar dan bergerak di rumah. Hal ini merujuk pada pernyataan Presiden saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), masyarakat diharapkan untuk melakukan tiga kegiatan tersebut. Selain itu, berita juga didominasi oleh pemberitaan dari sektor ekonomi dan bisnis yang rata-rata menyatakan optimismenya dalam menyambut new normal.

Hasil temuan menarik lain menunjukkan bahwa penggunaan new normal seringkali digunakan dalam bingkai yang lebih positif dibandingkan dengan istilah pelonggaran dan relaksasi PSBB. Selain itu, pemberitaan yang banyak muncul pada 26—27 Mei berupa respon dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) serta beberapa kepala daerah dan walikota yang menyatakan penerapan new normal dianggap terlalu dini dilakukan. Beberapa lokasi yang seringkali disoroti dalam penerapan new normal antara lain tempat ibadah, pasar tradisional, mal, dan sekolah. “Beberapa tempat-tempat ini sering disoroti ketika media memberitakan mengenai new normal,” tutur Dewa.

Iradat Wirid kemudian melanjutkan dengan pemaparan temuan menarik di Twitter. Total sebanyak 112.471 cuitan dilakukan oleh 56.354 akun, yang mana jika dirata-rata maka satu akun melakukan dua kali cuitan. Total engagement dari keseluruhan jumlah likes dan retweet dalam cuitan tersebut mencapai 679.289 kali. Tim CfDS mensortir menjadi 150 akun teratas dengan engagement tertinggi. “Jika ditotal, jumlah engagement dari akun-akun ini mencapai 270 ribu retweet dan likes,” terang Iradat.

Lebih jauh lagi, Iradat menyebutkan dari 150 akun, terdapat lima jenis akun yang dominan muncul dalam analisis ini. Pertama, akun pejabat publik, dimana empat akun teratas diisi oleh Joko Widodo, Presiden RI; Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat; Anies Baswedan, Gubernur DKI; dan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah. Kedua, akun lembaga pemerintah atau layanan publik, dimana hanya akun Kementerian Kesehatan RI yang masuk pada daftar 150 akun teratas. Ketiga,  akun media dan informasi, akun jenis ini paling besar berkontribusi terhadap banyaknya data masuk yang diambil. Keempat, adalah akun mention confess (menfess), yang merupakan akun pengiriman pesan tanpa identitas pengirim dengan cara mengubah direct messege menjadi cuitan. Kelima, adalah akun popular Twitter atau kerap disebut selebtwit.

Poin menarik lain, Iradat menambahkan, dari lima jenis akun yang disebutkan terdapat perbedaan dan pergeseran balasan dari warganet. Untuk akun pejabat pemerintah dan layanan publik, komentar dan balasan yang muncul cenderung formal dan lebih kaku. Sedangkan dari ketiga jenis akun lainnya, kecenderungan warganet membalas dengan tidak formal, yaitu menggunakan bahasa yang lebih santai, kreatif, sesekali tidak ada kaitannya secara utuh dan sarkasme. “Banyak balasan dari netizen yang menanggapi di luar konteks new normal dan sifatnya tersegmentasi, misal mengomentari apa yang mereka alami atau ikuti”, ungkap Iradat.

Dari hasil pemaparan tersebut, tim CfDS memiliki beberapa rekomendasi. Pertama, pemerintah perlu mengkaji ulang pelaksaanaan new normal, melihat respon masyarakat dengan konten sarkasme menunjukkan pesimisme masyarakat pada kebijakan ini. Selain itu pemerintah perlu menerapkan protokol new normal yang lebih detail dan komprehensif untuk menghindari kebingungan dan kesalahpahaman masyarakat. “Bisa jadi bentuk candaan dan sarkasme di dunia maya adalah bentuk ekspresi pengguna Twitter mengomentari wacana new normal yang bergulir,” pungkas Iradat. (/anf)