
Yogyakarta, 15 Juli 2025─CfDS FISIPOL UGM menggelar seri diskusi publik dalam Difussion #125 yang bertajuk “Regulasi Penyiaran dan Masa Depan Tata Kelola Platform Digital di Indonesia”. Pada sesi diskusi ini, menghadirkan para pemangku kepentingan, di antaranya, Dr. Tulus Santoso, S.Sos., MA (Komisioner Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat), Hafil Naufal (Kepala Hubungan Bidang Pemerintah, Asosiasi Video Streaming Indonesia (AVISI)), dan Engelbertus Wendratama (Peneliti PR2Media).
Diskusi publik ini dipantik oleh isu RUU Penyiaran yang kini mengalami perluasan makna. Dalam arti lebih spesifik, sebelumnya, definisi penyiaran hanya mengatur dalam jangkauan penggunaan frekuensi terbatas dan pada cakupan wilayah tertentu. Sedangkan kini, RUU Penyiaran mengatur menjangkau platform-platform digital, seperti layanan Over The Top (OTT)–layanan streaming digital (sebagai contoh, Netflix, Disney Hotstar, dsb); layanan user generated content (UGC)–konten berbasis pengguna, (seperti, YouTube, Instagram, Spotify).
Merespons isu tersebut, KPI memberikan tanggapan terkait urgensi RUU penyiaran yang ditujukan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Maka dari itu, dalam hal ini, diarahkan untuk mengatasi dampak negatif seperti munculnya ujaran kebencian, pornografi, atau kekerasan fisik/verbal. “Karena ketika tidak ada lagi batasan, maka bisa menjadi peluang gitu ya. (Seharusnya) kita bisa mempromosikan apapun, kita bisa melakukan personal branding dan seterusnya. Tetapi ternyata tidak serta-merta seindah itu, teman-teman. Bahwa semuanya bisa diarahkan untuk semua hal yang sifatnya positif. Banyak kemudian narasi-narasi melalui konten audio maupun audio visual di platform digital itu ternyata juga mampu ataupun memiliki kekuatan untuk membuat opini,” ujar Tulus.
Platform digital dalam UGC dan OTT dalam instrumennya sudah mencakup kontrol dan filtrasi penuh untuk mengantisipasi penyebaran konten negatif. “OTT video streaming di Indonesia bukan tanpa regulasi dan tanpa pengawasan. Sehingga ketika adanya regulasi baru ada risiko untuk menimbulkan tumpang tinggi regulasi dan mungkin nanti ke depannya karena ada tumpang tindih, ada ketidakpastian implementasi. Kemudian tentu ketidakpastian hukum juga berdampak pada kontraproduktif ter upaya pemerintah Indonesia untuk menyelenggarakan ekonomi kreatif,” tutur Hafil.
Sementara itu, dalam diskusi publik tersebut juga disinggung peninjauan ulang atas RUU Penyiaran yang mengatur platform digital. Pasalnya, jenis platform digital tidak bersifat homogen, melainkan sangat beragam. Sehingga penting halnya dalam melibatkan multipihak dengan aktor nonpemerintah atau disebut co-regulation.
“Jadi dalam menyusun regulasi ini, berkolaborasi dengan aktor non pemerintah, dengan industri, dengan peneliti–akademisi, masyarakat sipil, kelompok keagamaan, dsb. Sehingga dalam penegakan aturan ini beban pemerintah tidak berat. Karena memang berat, mengatur platform digital kontennya banyak sekali dan sumber daya pemerintah terbatas,” usul Wendra.