Urgensi Perbaikan Konektivitas Pangan untuk Penanggulangan Krisis

Yogyakarta, 19 Mei 2020—Forum Penelitian Bulanan Magister MKP kembali mengadakan diskusi bertajuk “Membangun Konektivitas (Supply Chain) Pangan di Indonesia”. Diskusi daring melalui Webex ini menghadirkan Arum Kusumaningtyas, S.IP., M.Sc. sebagai pembicara dan dipandu oleh Nanik Lestari, S.Sos., MPA. Arum merupakan alumni MKP yang kini bekerja sebagai konsultan di beberapa perusahaan, salah satunya Catur Sagatra Lestari di Jakarta. Di tengah kesibukannya, Arum juga turut mendampingi Swadaya Petani Indonesia.

Sebelum membahas konektivitas pangan, Arum menjelaskan mengenai kebijakan pangan di Indonesia yang tertuang dalam UU nomer 18 tahun 2012. UU ini menggantikan peraturan perundang undangan mengenai pangan tahun 1996 yang mengatur pengadaan pangan berbasis beras. Beberapa perubahan besar yang dicatat oleh Arum dalam UU ini yaitu mengenai pengelolaan kedaulatan atas pangan, identifikasi ketahanan, kemandirian  dan keamanan pangan. Selain itu, UU ini juga mengatur mengenai ketersediaan pangan, produksi dan cadangan pangan. Cadangan pangan ini yang mengatur bagaimana supply chain atau konektivitas penyelenggaraan pangan. “Jadi cadangan pangan dan penyelenggaraan pangan adalah pengaturan mengenai manajemen konektivitas pangan kita,” ungkap Arum.

Krisis ekonomi selama COVID-19 ini berakibat pada krisis pangan yang secara otomatis mengurangi kualitas pangan. Arum berpendapat, di negara seperti Indonesia, krisis pangan meningkatkan resiko stunting atau malnutrisi. Selama periode 2017—2018 malnutrisi menjadi salah satu fokus pemerintah. “Kekurangan nutrisi berakibat pada berkurangnya kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia,” ujar Arum.

Walaupun krisis pangan berdampingan dengan krisis ekonomi, tetapi ada pola yang berbeda setiap momennya. Misal yang terjadi pada krisis tahun 1998, ketika Indonesia menggunakan UU pangan tahun 1996. Arum menceritakan, Indonesia mengalami gagal panen besar-besaran karena cuaca, sehingga pada saat itu terpaksa melakukan impor beras sebanyak 6 juta ton. Berbeda dengan sebelumnya, krisis ekonomi tahun 2008 menyebabkan biaya transportasi dan logistik yang sangat tinggi sehingga harga bahan pangan melonjak. Di Indonesia pada saat itu harga beras naik sebanyak 10 persen dan ditahun setelahnya selalu naik dikisaran 10—12 persen.

Namun, bagi Arum, krisis pangan selama COVID-19 ini sangat berbeda dari sebelumnya. Perbedaan terletak pada semakin terkoneksi negara satu dengan negara lain. Maka perubahan distribusi pangan di suatu negara sangat berpengaruh terhadap negara lain. Di Asia Tenggara, pemasok komoditas bahan makanan pokok adalah Vietnam.

Selain permasalahan konektivitas dengan negara lain, Indonesia juga mengalami permasalahan terkait distribusi pangan dalam negeri. Arum menilai bahwa posisi Indonesia cukup tertinggal secara logistik dibanding negara lain. Hal ini ia jabarkan dari melihat turunan UU pangan. Dimana pengaturan konektivitas pangan Indonesia baru mencapai cadangan pangan pada pemerintah daerah dan level komunitas dengan pembentukan lumbung pangan masyarakat. Masalah ini diperparah dengan meningkatnya tugas Bulog terkait distribusi dan penyimpanan.

Membangun konektivitas pangan di Indonesia tentunya bukan perkara mudah. Arum menyebutkan bahwa Indonesia sudah menggunakan salah satu metode input dan output analisis sejak tahun 1997-an. Analisis ini melihat barang yang masuk dan keluar dari suatu daerah. Pada tahun 2012, pola tatanan ini diubah dengan melihat konektivitas antar wilayah. Dari mana barang berasal, siapa yang mengirim dan bagaimana pengembangannya. Data ini sudah terekam di Badan Pusat Statistik sehingga bisa dilakukan perhitungan dan analisis. “Kita bisa menghitung bahwa saat ini 52,61 persen untuk nilai ekonomi di seluruh kepulauan Indonesia,” tutur Arum.

Menggunakan metode yang sama, BPS berhasil merekam sistem logistik Indonesia dan alur kepulauan Indonesia. Sedangkan, sekarang yang sedang diupayakan oleh BPS adalah mencatat dan merekam jalur laut nasional sekunder. Arum menyebutkan arus barang dan jasa Indonesia terdapat di jalur laut nasional sekunder. “Alur arus ini merupakan konektivitas Indonesia yang ternilai secara ekonomi,” imbuh Arum.

Meski begitu, Arum mengatakan terdapat kendala sistem logistik nasional di Indonesia yaitu tidak efektif. Ketidakefktifan ini karena pengaturan mengenai konektivitas pangan masih berada di level Peraturan Presiden ketika yang diatur sudah dilevel UU. Hal-hal yang diatur sifatnya lebih tinggi yaitu undang-undang mengenai perkeretapian, pelayaran, penerbangan, dan lalu lintas jalan raya. “Bagaimana sistem logistik nasional terbentuk jika levelnya hanya perpres untuk mengatur semua yang levelnya sudah undang-undang,” ujar Arum.

Diakhir pembahasannya, Arum menyimpulkan bahwa memperbaiki manajemen konektivitas pangan di Indonesia adalah pekerjaan yang berat dan panjang. Diperlukan pula dukungan multi stakeholder management yang tidak hanya di level produksi melainkan sampai tataran konektivitas. Bagi Arum, dalam menangani konektivitas pangan ini diperlukan ekosistem yang yang mampu mengidentifikasi beragam kegiatan dalam distribusi pangan. “Masalah penyelenggaraan pangan bukan  masalah yang bisa dilihat satu sisi belaka, tetapi sifatnya ekosistemik,” pungkas Arum. (/anf)