Diskusi Publik Of Humanity: Diskriminasi terhadap Papua adalah Masalah Kemanusiaan Kita Bersama

Yogyakarta, 19 September 2019—Puluhan orang berkumpul dalam satu ruangan mendiskusikan kemanusiaan. Di depan para hadirin, dua orang membagi pengalaman masing-masing sekaligus berperan sebagai pemimpin diskusi. Adalah Ulya Pipin Efrina Jamson, S.I.P, M.A. (Dosen Departemen Politik & Pemerintahan UGM) dan Cinta (Aliansi Mahasiswa Papua) yang memimpin diskusi itu. Diselenggarakan sebagai kerjasama antara UKM Of Humanity FISIPOL UGM dan Aliansi Mahasiswa Papua, diskusi publik bertajuk “Papua, HAM, dan Kewarganegaraan” banyak menyoal tentang fenomena diskriminasi terhadap warga Papua yang baru-baru ini kerap terjadi.

Mengambil tempat di Ruang BE12 FISIPOL UGM, diskusi dihadiri oleh banyak mahasiswa lintas fakultas. Hal tersebut menunjukkan bahwa isu tentang Papua memang menarik sekaligus layak diperhatikan banyak orang. “Di sana (Papua), bendera yang akan kita temui bukanlah bendera Indonesia, melainkan bendera Freeport,” ungkap Pipin. Lewat kalimat itu, Pipin hendak menjelaskan bahwa diskriminasi yang sering menimpa warga Papua tak semata berkaitan dengan kemananusiaan. Ia, bagi Pipin, juga hasil dari penghisapan ekonomi tak terelakkan oleh praktik-praktik neoliberalisme.

Pipin menerangkan, Papua—berikut warga di dalamnya—cenderung kurang mendapat perhatian pemerintah karena yang berkuasa di dalamnya justru raksasa-raksasa bisnis internasional. Penguasa ini, berdasarkan penjelasan Pipin, adalah multinational corporation (selanjutnya disebut MNC). MNC ini hadir, mengeksploitasi sumber daya alam dan ekonomi Papua, dan meninggalkan warga di sana begitu saja. Di titik inilah, pemerintah justru tak kuasa berbuat apa-apa.

Hal yang kita angkat dalam pembicaraan tentang Papua selalu tentang Raja Ampat, pertambangan emas, dan potensi pariwisatanya yang mumupuni. Rakyat Indonesia secara umum, disadari atau tidak, tak pernah benar-benar peduli pada warga Papua. “Ketika membahas Papua, kita banyak bicara soal nasionalisme. Padahal, logika nasionalisme kita selalu berkaitan dengan logika pasar,” tambah Pipin.

Sementara sebagai anggota Aliansi Mahasiswa Papua, Cinta lebih banyak membahas soal pengalaman pribadinya. Kepada hadirin, Cinta menceritakan beberapa kejadian menjengkelkan yang pernah ia (dan teman-temannya) terima sebagai mahasiswa Papua yang berkuliah di Jogja.

Cinta bercerita, pada awal kedatangannya di jogja, ia dan beberapa temannya sempat kesulitan mendapat indekos. “Mahasiswa dari Papua memang seringkali ditolak (ketika mencari kos). Keberuntungan terbaik yang menimpa kami adalah mendapat kos di pinggiran kota, yang notabene adalah kawasan yang jauh dari kampus dan kumuh, atau justru kos-kos ekslusif dengan biaya yang tinggi,” terang Cinta.  Karena perlakuan semacam itu, pada akhirnya mahasiswa-mahasiswa Papua lebih memilih untuk mendirikan asrama-asrama daerah.

Diskriminasi terhadap warga Papua memang sedang marak terjadi. Hal itu diperparah pula oleh “kebijakan” pemerintah beberapa waktu lalu, ketika akses terhadap informasi tentang Papua di dunia maya justru dibatasi. “Sebagai warga negara Indonesia, kami membutuhkan pelaksanaan demokrasi yang terbuka dan partisipatif,” tambah Cinta.

Berkaitan dengan hal itu, menjadi sebuah kebrutalan belaka jika kita tak merasakan kegentingan apapun. Jika kita akan terus menyuburkan perilaku diskriminatif semacam itu, sanggupkah kita terus hidup dengan rasa was-was dan antipati terhadap orang lain—meskipun mereka tak membebani kita apapun? (/Snr)