DPP UGM Adakan Peluncuran dan Diskusi Buku ‘Menegosiasi Ulang Indonesia’

Yogyakarta, 13 Mei 2020—Soft Launching dan diskusi buku “Menegosiasi Ulang Indonesia”  karya Abdul Gaffar Karim, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM dibahas bersama  Maria J.C Schouten selaku Guru Besar Antropologi  Universidade de Beira Interior, Portugal dan Valina Singka Subekti selaku  Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia yang dilaksanakan secara daring.

Buku yang mengambil studi kasus di daerah Sumenep (Jawa Timur) dan Manado (Sulawesi Utara) tersebut  membahas politik lokal sebagai suatu penjelas di Indonesia.  “Politik lokal kebanyakan melihat bagaimana politik rekrutmen bekerja. Studi saya awalnya sangat konvensional dan agak klise yaitu melihat politik rekrutmen, biasanya daerah hanya dilihat dari hal tata kelola administarasi, pemekaran daerah dan pengelolaan sumber daya alam,” ujar Gaffar.

“Saya ingin melihat lagi reformasi dari kedua daerah tersebut dari sisi renegosiasi, melihat  perspektif baru dari dua daerah dan menguji bagaimana kontrak sosial Indonesia kembali di renegosiasi selama proses awal reformasi,” tambah Gaffar.

Menggunakan pendekatan historical institutionalism, buku tersebut melihat bahwa critical juncture yang menentukan struktur relasi hari ini digunakan dalam melihat apa yang direnegosiasi di kedua daerah, penelitian tersebut pun menghasilkan temuan yang berbeda.

“Karena persoalan dalam sejarahnya berbeda, maka cara negosiasinya pun juga berbeda.  Temuan di Manado adalah negosiasinya diskursif di ranah wacana, sedangkan di Sumenep negosiasinya bersifat disruptif di tataran relasi politik.  Dua daerah tersebut tetap bersedia berada di ikatan keindonesiaan, tapi kali ini dengan caranya sendiri, bukan dengan cara Jakarta.  Kedua daerah tersebut pun memusatkan perhatiannya pada lembaga agama karena di wilayah tersebut peran lembaga agama sangat kuat,” ujar Gaffar.

“Di Manado proses mengindonesiakan membuat Minahasa menjadi tidak tuntas, relasi Orang Minahasa dengan Indonesia adalah relasi penuh negosiasi. Peluang reformasi di awal ‘98 hingga 2005 dilakukan Orang Minahasa bukan untuk merombak struktur politik tapi menegosiasi menjadi Minahasa,” ujar Gaffar.

“Berbeda dengan Sumenep yang tidak ada wacana, tidak terjadi problema dikursus dengan pusat. Karena Madura tidak terlalu besar, Madura dengan mudah bisa memposisikan Jawa secara umum. Dominasi militer sejak tahun 70-an menguasai posisi penting, tradisinya yang menjadi bupati adalah tentara  melalui fraksi ABRI dan TNI Polri,” ujar Gaffar.

“Pesantren tersingkir sejak tahun 1970-an, banyak memori kolektif disingkirkan secara disruptif oleh militer, maka peluang reformasi yang didominasi Pesantren dapat merebut cepat kekuasaan dari militer. Arena yang digunakan adalah elektoral. PKB muncul dan mendominasi legislatif dan pada tahun 1999 berhasil memenangkan pemilihan bupati secara diruptif,” ujar Gaffar.

Selanjutnya  Maria Johanna Christina Schouten selaku Guru Besar Antropologi  Universidade de Beira Interior, Portugal yang mendalami politik lokal Manado dengan tulisan “Memelihara Perdamaian di Minahasa Pasca-Orde Baru”, mengomentari isi buku serta menyisakan pertanyaan; “Identitas Manado apa yang memengaruhi politik di Kota Manado?”

Selanjutnya, Valina Singka Subekti selaku Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia menyampaikan bahwa buku tersebut meiliki keunikan dalam menggunakan istilah renegoisasi kontrak sosial, yaitu melakukan peninjauan ulang untuk diganti dengan kesepakatan yang baru. “Buku ini melihat konteks perkembangan demokrasi yang semakin elitis dan oligarki, saya kira konsep yang ditawarkan Mas Gaffar mengenai renegoisasi bisa kita gunakan kembali untuk mencari model yang terbaik kedepan supaya demokrasi bisa menjadi lebih substantif dan memihak pada kepentingan rakyat,” ujar Valina mengakhiri diskusi sore itu. (/Afn)