Yogyakarta, 22 Maret 2024—Presiden Joko Widodo baru resmi merilis Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 32 Tahun 2024 Tentang Tanggung Jawab Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas pada 20 Februari 2024 lalu. Peraturan ini dikeluarkan karena media konvensional mulai terombang-ambing oleh masifnya perkembangan dunia digital. Padahal, jurnalisme berkualitas adalah penyalur informasi yang baik pada publik, namun sayangnya minat masyarakat terhadap media digital lebih besar karena kecepatan dan berbagai kemudahan akses yang ditawarkan.
“Pemerintah baru saja mengeluarkan kebijakan tentang publisher rights. Kita akan melihat apakah nantinya peraturan tersebut dapat benar-benar berdampak, seperti kita ketahui banyak aturan yang dibuat sekedar pajangan di Indonesia. Dampaknya belum bisa kita lihat lebih jauh. Regulasi penting, tapi perjuangan untuk mewujudkan keuntungan yang mereka butuhkan itu saya kira luar biasa,” tutur Sekretaris Program Studi S2, Departemen Ilmu Komunikasi UGM, Drs. I Gusti Ngurah Putra, MA. dalam serial DISKOMA #12 pada Jumat (22/3).
Digitalisasi diakui sebagai bentuk media baru yang berhasil menimbulkan disrupsi pada berbagai aspek. Salah satu yang paling besar terdampak adalah persebaran informasi. Pada dunia digital, masyarakat terpapar oleh arus informasi yang begitu cepat. Apalagi dengan kemudahan dan personalisasi digital, minat masyarakat terhadap informasi di media digital, khususnya media sosial lebih tinggi dibanding media pers. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap keberlangsungan bisnis media pers di tengah disrupsi digital. Menurut Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri, Dewan Pers Indonesia, Totok Suryanto, beberapa publisher platform digital menyatakan keberatannya terhadap aturan baru ini.
“Publisher Meta misalkan, dalam pertemuannya dengan Dewan Pers waktu itu menyebutkan bahwa berharap mereka tidak termasuk yang akan dikenai ketentuan untuk memberikan bagi hasil kepada publisher di Indonesia, khususnya pers. Ingat ya, bahwa Perpres ini dalam konteks hubungan antara platform digital program dengan pers, tidak mencakup yang namanya konten kreator dan lain-lain. Menurut mereka, ada ruang yang sudah mereka siapkan untuk publisher di negara ini untuk menggunakannya,” terang Totok.
Pernyataan yang sama juga turut disampaikan oleh Google. Sebagai platform global, mereka telah menjalin berbagai kerja sama bisnis dengan beberapa lembaga pers. Mayoritas kerja sama juga ditujukan untuk mengawal jurnalisme berkualitas, karenanya mereka tidak ingin dikenakan peraturan tersebut. Berdasarkan pernyataan Totok, peraturan presiden ini nanti akan disesuaikan dengan apa yang telah diupayakan oleh masing-masing publisher. Sedangkan saat ini, keberadaan perusahaan pers di Indonesia begitu menjamur. Berbeda dengan dulu, saat ini platform digital memberikan kemudahan bagi seseorang untuk membangun media pers digitalnya sendiri tanpa modal yang besar.
“Tapi di sisi lain, kita bisa sampaikan bahwa kondisi perekonomian pers Indonesia saat ini berada di posisi yang mengkhawatirkan. Artinya memang begitu banyak media yang lahir, begitu banyak perangkat distribusi konten yang banyak, maka kemudian banyak sekali pilihan-pilihan bagi pemasang iklan dan menjadi lebih mudah. Maka dalam kondisi yang mengkhawatirkan ini, kita mencoba menyusun semacam aturan agar terjadi keadilan dalam interaksi antara pers dan platform global,” papar Totok.
Perpres disebut sebagai salah satu cara yang efektif dan cepat untuk mengatasi masalah di dua sisi. Melalui rilisnya aturan ini, diharapkan dapat tercapai dua tujuan utama. Pertama, tercipta jurnalisme berkualitas yang bisa didistribusikan di platform global. Dan di sisi lain, media pers bisa mendapatkan pemasukan sebagai publisher di media digital. Sekaligus menjadi implementasi dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-17, yakni “Kemitraan untuk Mencapai Tujuan”. Maka diharapkan, kerja sama ini dapat mendorong penguatan pers sebagai informasi berkualitas begi masyarakat. (/tsy)