Yogyakarta, 27 Juni 2024─Global Engagement Office (GEO) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), Universitas Gadjah Mada, bekerja sama dengan Institute of International Studies, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM), menyelenggarakan diskusi dengan Asia New Zealand Foundation. Diskusi dilaksanakan di ruang sidang Dekan Gedung BB lantai 2 FISIPOL dan turut mencakup beberapa rangkaian kegiatan dengan skema hybrid. Pertemuan ini bertujuan untuk mengangkat tema utama, yakni Melawan Kerugian Masyarakat Indonesia dalam Krisis Iklim.
Diskusi dimoderatori oleh Yulida Nuraini Santoso, M. Sc., Manajer GEO FISIPOL, dan diawali dengan kata sambutan dari Dr. Luqman-nul Hakim, Direktur Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada. Dilanjutkan dengan sambutan dari Wakil Dekan FISIPOL UGM, Dr. Fina Itriyati. “Penting untuk melihat bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan untuk memastikan suara mereka didengar. Oleh karena itu, kerja sama antara universitas dan lembaga think-tank sangat penting untuk menciptakan upaya kolektif melawan perubahan iklim,” kata Dr. Fina.
Selain itu, perwakilan Asia New Zealand Foundation juga menyampaikan sambutan. Menurut Dr. Jordan King, Selandia Baru dan Indonesia memiliki kesamaan yang signifikan, termasuk keberadaan komunitas adat yang kuat, lokasi geografis di dalam Cincin Api (Ring of Fire), kemitraan dagang yang erat, dan sejarah penjajahan. Karena ekspansi ekonomi dan pengaruh geopolitik yang signifikan, sangat penting untuk mengunjungi Indonesia dan mendapatkan pemahaman komprehensif tentang negara tersebut.
Diskusi dengan Asia New Zealand Foundation diawali dengan pemaparan pertama dari Ibu Elisa Sutanudjaja, Direktur Eksekutif RUJAK Center for Urban Studies. Pemaparan ini berdasarkan temuan penelitian lapangan di Kecamatan Penjaringan. Ibu Elisa menyoroti bahwa perubahan iklim tidak teridentifikasi dengan baik. Ketika masyarakat mengalami kondisi yang berbeda, mereka mempunyai metode yang berbeda untuk mengidentifikasi perubahan iklim. Temuannya juga menunjukkan bahwa kebijakan nasional yang ada, menempatkan masyarakat pada risiko yang lebih besar karena masyarakat tidak dilibatkan dalam oroses pembuatan kebijakan. Kepemimpinan yang tidak memadai dan keterlibatan masyarakat yang tidak memadai menghasilkan ketidakjelasan indikator dan tujuan perubahan iklim yang membahayakan penghidupan masyarakat Indonesia.
Pemaparan kedua disampaikan oleh Dr. Agung Wardana dari Universitas Gadjah Mada yang memaparkan kerugian dan kerusakan di Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu. Menurut Dr. Agung, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, di mana banyak pulau-pulau kecil di tanah air terancam. Keindahan Pulau Pari sempat menimbulkan konflik kepemilikan. Perusahaan menegaskan kepemilikan atas 90% pulau tersebut, sementara pemerintah mengelola 10% sisanya untuk konservasi. Selain itu, karena kondisi geografis Pulau Pari, wilayah tersebut lebih rentan menghadapi permasalahan berat akibat dampak perubahan iklim, seperti semakin seringnya terjadinya banjir di pesisir pantai. Hal ini menempatkan masyarakat dalam kondisi perekonomian yang rentan karena mata pencaharian mereka bergantung pada penangkapan ikan.
Pada paparan terakhir, Dr. Luqman-nul Hakim memaparkan tentang Politik Pembangunan Berkelanjutan di Era Krisis Iklim. Indonesia telah terlibat dalam berbagai rezim iklim global dan mencoba mengadopsi tujuan global mengenai perubahan iklim. Namun, implementasi tujuan normatif tersebut dalam konteks pembangunan nasional masih belum jelas. “Tata kelola iklim nasional memperkuat pendekatan teknokratis dalam menangani krisis iklim, dan Indonesia belum cukup mengembangkan perangkat terkait isu Kehilangan dan Pengungsi,” tegas Dr. Luqman. Diskusi kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dan dokumentasi.