Persoalan Ketahanan Pangan dalam Ekonomi Biru

Yogyakarta, 4 Juni 2025—Indonesia dengan kekayaan alamnya memiliki potensi sumber daya hayati yang belum sepenuhnya dimaksimalkan. Sebagai negara kepulauan, sektor kelautan telah lama menjadi salah satu komoditas ekspor yang menopang perekonomian negara. Namun justru di sisi lain, tingkat konsumsi ikan dan kesejahteraan nelayan belum merata. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada menghadirkan diskusi “Blue Food as Climate Session: Sustaining Blue Food Ecosystem, Community Empowerment, dan Climate Solution” pada Rabu (4/6).

Disampaikan oleh Prof. Luky Adrianto, Ph.D, Kepala Lembaga Riset Internasional Kemaritiman, Kelautan dan Perikanan (i-MAR), Institut Pertanian Bogor (IPB) ekonomi biru sudah menjadi perspektif jangka panjang transformasi ekonomi. Persoalan yang perlu diperhatikan bukan hanya mengenai keragaman nutrisi dalam sumber pangan perairan, namun juga bagaimana membentuk ekonomi biru yang berkeadilan dan mampu menyejahterakan masyarakat. Belum lagi isu lingkungan seperti perubahan iklim dan pencemaran laut yang juga mengancam kehidupan bawah laut. Menurutnya, ada banyak aspek yang harus dipertimbangkan untuk mengembangkan ekonomi biru yang berdaya saing.

“Pangan biru harus inklusif, tidak boleh meninggalkan aspek keadilan dalam produksi. Tentunya hal ini membutuhkan kolaborasi antar sektor,” ujar Luky. Ia menjelaskan bahwa ekonomi biru tidak akan terlepas dari rantai pangan atau sumber daya pangan perairan. Dilihat dari proses hulu ke hilir, ada berbagai masalah yang menjadikan sistem belum membaik, seperti produksi yang stagnan dan kebijakan tidak menentu. Pemerintah saat ini memiliki agenda untuk menetapkan ketahanan pangan sebagai indikator kemajuan bangsa, namun hingga saat ini justru food insecurity masih tinggi.

Pada beberapa daerah, tingkat konsumsi ikan masih cenderung rendah. Bahkan masyarakat pesisir sebagai produsen utama ekonomi biru belum mendapat kesejahteraan yang setara. Hal ini dijelaskan oleh ASN Pegiat Desa Maritim Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Bahari Susilo, S.Pi., M.S.E. bahwa konsumsi ikan dalam rumah tangga di daerah Gunung Kidul, DIY saja masih mencapai 19,12 kg pada tahun 2024. Jumlah ini menurun dibanding tahun sebelumnya yakni berkisar 19,38 kg. Padahal ikan adalah sumber pangan yang memiliki nutrisi tinggi dan dapat menjadi sarana pengentasan masalah kekurangan gizi seperti stunting.

Masih sulitnya akses bahan pangan ikan dapat disebabkan karena rantai pasok dan konsumsi yang bermasalah di beberapa titik. Contohnya, para nelayan sebagai produsen ikan justru tidak mampu mengonsumsi ikan hasil tangkapannya sendiri karena harus dijual. Begitupun ketika sudah berada di pasar, harga-harga ikan laut yang cenderung mahal menjadikan sektor rumah tangga tidak memberikan prioritas pangan laut sebagai pangan harian. “Ikan itu kaya akan mikronutrien, perlu ada edukasi tentang berbagai jenis ikan dengan nutrisi tinggi tidak harus mahal. Ikan kembung misalnya, tingkat omega nya justru lebih tinggi dari salmon. Ini perlu disosialisasikan,” tutur Bahari.

Menilik pada kebijakan di Yogyakarta, visi misi Gubernur DIY dari tahun ke tahun ternyata mencantumkan fokus pengembangan masyarakat pesisir selatan. Visi tersebut mencakup peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, pengembangan budaya, hingga teknologi informasi. Sayangnya, pada praktiknya masih belum implementif khususnya pada sektor pemberdayaan sumber daya laut. Sektor pariwisata yang diutamakan justru menimbulkan kerusakan dan potensi ancaman kehidupan laut.

Perspektif unik disampaikan oleh Fina Itriyati selaku Wakil Dekan Fisipol UGM Bidang Penelitian, Pengabdian Masyarakat, Kerja Sama, dan Alumni. Menurutnya, peran perempuan dalam sektor ekonomi biru sangatlah penting. Pada bagian produksi memang laki-laki banyak berperan dalam prosesnya, namun untuk menjadikan ikan hadir sebagai pangan rumah tangga, perempuan memegang peran utama. “Pada masyarakat pesisir juga ibu-ibu itu yang banyak membantu proses produksi juga. Jadi peran antar gender ini perlu didukung agar bisa support satu sama lain,” ucap Fina.

Diskusi ekonomi biru menghadirkan berbagai perspektif, mulai dari nutrisi pangan laut, rantai distribusi, hingga peran gender di dalam ekosistem masyarakat pesisir. Harapannya, diskusi ini dapat menginspirasi inisiasi multisektor untuk mendukung pengembangan ekonomi biru. Acara ini sekaligus mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan ke-14 tentang Ekosistem Laut. (/tsy)