Di Antara Penghargaan dan Penghapusan, SOREC UGM Ajak Baca Ulang Politik Gelar Pahlawan Nasional

Yogyakarta, 25 November 2025 – Penganugerahan gelar pahlawan nasional kembali menjadi sorotan publik. Dalam diskusi bertajuk “The Banality of Evil: Tragedi Gelar Pahlawan Nasional dan Episte-Femisida di Indonesia” yang digelar Social Research Center (SOREC) UGM dengan para akademisi dan aktivis menilai praktik tersebut sebagai bentuk rekayasa ingatan kolektif yang berisiko memutihkan sejarah kekerasan negara.

Diskusi yang diselenggarakan di Auditorium Mandiri Lantai 4 FISIPOL UGM itu menghadirkan tiga pembicara dari lintas disiplin diantaranya Ita Fatia Nadia (Ruang Arsip & Sejarah Perempuan Indonesia), Sana Ulaili (Solidaritas Perempuan Kinasih), dan Joash Tapiheru (Dosen Departemen Politik & Pemerintahan UGM). Mereka membedah bagaimana gelar kepahlawanan dapat menjadi alat politik yang bekerja secara halus melalui pembentukan narasi resmi negara.

Mengutip refleksi Hannah Arendt tentang banality of evil, praktik kejahatan luar biasa seringkali berlangsung bukan karena pelakunya monster tetapi karena banyak orang memilih untuk tidak berpikir secara kritis. Konsep ini kembali relevan ketika pemerintah Indonesia memberikan legitimasi simbolik berupa gelar pahlawan kepada tokoh yang memiliki rekam jejak pelanggaran HAM, sementara korban dan pembela keadilan perlahan tersisih dari ingatan nasional.

Ita Fatia mengaitkan praktik kekerasan pada masa Orde Baru dengan konsep banality of evil dari Hannah Arendt. Menurutnya, rezim saat itu menciptakan jarak sosial dan moral antara masyarakat dimana kekerasan dilakukan secara tersembunyi atau disangkal. Masyarakat didorong untuk apatis dan apolitis dengan menganggap kekejaman sebagai “urusan negara” sehingga pembunuhan dan kekerasan menjadi sesuatu yang dianggap normal.

Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, Joash Tapiheru, secara tegas mempertanyakan kelayakan moral dalam pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional. “Kalau seorang tokoh dengan begitu banyak jejak berdarah bisa diangkat sebagai pahlawan, lalu kenapa kita diam saja?” ujarnya. Menurut Joash, masyarakat semakin kehilangan keberanian untuk mempersoalkan narasi yang dibangun negara. Hal ini karena pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan adalah puncak gunung es dari kemunduran demokrasi serta kegagalan reformasi, dan ketiadaan perlawanan publik mencerminkan penurunan kapasitas berpikir kritis dalam kehidupan demokratis. 

 

Diskusi selama dua setengah jam tersebut berlangsung dinamis, ditandai dengan antusiasme puluhan peserta yang hadir, mulai dari mahasiswa, peneliti, hingga aktivis. Para peserta menyoroti bahwa kontroversi gelar pahlawan kini bukan sekadar wacana publik, tetapi persoalan serius yang menyangkut integritas sejarah bangsa.

Diskusi ini menjadi bagian dari upaya lebih luas untuk menghadirkan kontra-narasi sejarah perlawanan yang selama ini terhapus dari cerita resmi negara. Dengan membuka ruang dialog kritis, SOREC UGM berharap bahwa upaya membangun bangsa tidak hanya soal memberi gelar, tetapi memastikan bahwa keadilan, kesetaraan, dan keberlanjutan benar-benar dirasakan oleh semua warga. Mengingat, ketika kekerasan dinormalisasi, ketika perempuan masih harus berjuang agar suaranya diakui, dan ketika masyarakat adat kehilangan tanah serta hak menentukan nasibnya, maka ruang-ruang dialog seperti ini menjadi penting sebagai pengingat bahwa kemajuan bangsa tercapai jika kita berani mengingat, berani berpikir, dan berani memperjuangkan kemanusiaan bagi semua. (/noor)