Maraknya pembangunan hotel, apartemen dan mall di Yogyakarta nampaknya mulai memprihatinkan. Hal ini tak ubahnya lantaran pembangunan tersebut tidak memperhatikan lingkungan hingga turut mengubah dan mengganggu ekosistem. Dari yang awalnya banyak ruang publik yang terbuka sekarang banyak diubah menjadi beton-beton kokoh. Dalam hal ini, persoalan itu, setidaknya mampu memberikan gambaran mikro terhadap persoalan global yang juga sedang terjadi saat ini.
Hal itu disampaikan oleh Dr. Suharko, dosen Sosiologi UGM sebagai kata pengantar untuk membuka acara kuliah umum hari itu (22/4) Rabu pagi. Acara ini diinisiasi oleh Sosiologi Research Center (SOREC), Jurusan Sosiologi UGM dalam rangka menyambut hari bumi pada 22 April serta melakukan refleksi kegelisahan terhadap derasnya alih fungsi lahan di Yogyakarta.
Acara kuliah umum yang mengambil tempat di Ruang Seminar Timur, Lantai 2, Gedung Pasca Sarjana ini mengambil tema Jogja Sold Out (?). Selain itu, acara ini diselenggarakan sebagai upaya awal untuk mencoba memberikan catataan kritis terkait pembagunan di Yogyakarta yang dinilai dari hari ke hari semakin mengabaikan faktor lingkungan. Kuliah umum tersebut mengundang tiga narasumber, yakni Francis Wahono, Ph.D (Direktur CINDELARAS), Dodok Putra Bangsa (Warga Berdaya) dan Adjikoesoemo (Aktivis Pegiat HAM) sebagai pemateri public lecturer dan dimoderatori oleh AB Widianta, M.A.
Menurut Francis Wahono, daerah Yogyakarta merupakan karunia Tuhan lantaran tempat ini dikelilingi oleh beberapa gunung dan dilewati banyak sungai. Karunia inilah yang kemudian membuat tanah di Yogyakarta menjadi sangat subur dan sesuai jika dijadikan sebagai lahan pertanian. Sayangnya, menurut beliau ada kemungkinan Yogyakarta menjadi comberan jika pengelolaan lahan di Yogyakarta tidak ditangai secara serius.
“Yogyakarta merupakan daerah cekungan, tanah di Yogyakarta sebenarnya lebih rendah dari permukaan air lautannya. Dan jika komersialisasi yang gila-gilaan apalagi dengan tidak adanya penataan ruang yang baik terus terjadi Yogyakarta dikhawatirkan akan menjadi daerah comberan” tutur pria yang juga pernah menulis buku tentang ekonomi hijau tersebut. Selain mengkritik komersialisasi dan pembangunan yang tidak tertata, Fracis juga memberi kritikkan terhadap keberadaan Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY yang tidak memberikan ruang pada ‘unsur rakyat’ dan ‘unsur alam’ sebagai pertimbangan utama.
Sementara itu, di sisi yang lain menurut Dodok Putra Bangsa, pembangunan yang sangat masif di Yogyakarta dan mencapai taraf membahayakan ini merupakan produk ‘selingkuh’ oleh tiga aktor. Perselingkuhan itu yang kemudian menyebabkan proses peralihan lahan menjadi sangat cepat dan berimbas pada minimnya air tanah di Yogyakarta. “Negara dan pengusaha atau penguasa ternyata melalukan ‘tresome’ atau ‘selingkuh’ dengan akademisi dalam proses komersialisasi lahan di Yogyakarta” ungkap pria yang bertempat tinggal di daerah Miliran ini.
Sedangkan, Adjikoesoemo lebih menyoroti persoalan pertanahanan di Yogyakarta yang mulai berpindah menjadi tanah milik Sultan Ground dan Pakualaman Ground. Menurut Adji, perubahan yang awalnya merupakan tanah negara tetapi berlalih menjadi akan berpontensi mempercepat dan proses komersialisasi dan peralihan lahan menjadi mall, apartemen dan hotel. Hal ini lantaran para pemilik tersebut memiliki hak untuk menjual tanahnya secara bebas.
“Sebenarnya sejak tahun 1984, melalui Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 dan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 1984, tanah milik Sultan Ground dan Pakualaman Ground sudah dikembalikan ke negara sehingga permasalahan tanah mengikuti skema UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX” ungkap Adji. (D-OPRC)