Dikeluarkannya Sabdaraja oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X, Kamis (30/4) mengisyaratkan perpecahan di internal keraton semakin meruncing. Ini dilihat dari tidak semua kerabat keraton yang hadir dalam acara yang digelar di Siti Hinggil, tempat sakral untuk penobtan Raja tersebut dilaksanakan.
Seorang kerabat keraton yang hadir dalam acara tersebut, dirinya tidka menyangka bahwa Sultan akan mengeluarkan Sabdaraja yang berisi mengenai perubahan gelar yang adalah paugeran. “Sebenanrnya sudah empat hari lalu direncanakan. Info awalnya hanya ngarso dalem mau mengeluarkan sabda. Tapi saya enggak tahu kalau isinya seperti itu,” katanya.
Dalam prosesi pengucapan Sabdaraja Sultan HB X mengenakan pakaian keprabon (kebesaran) , namun tidka memakai kuluk hitam melainkan memakai kuluk biru (wakidan biru). Begitu pula GKR Hemas juga mengenakan pakaian kebesaran sepeti saat dinobatkan permaisuri.
Kerabat yang minta namanya tak dikorankan ini mengungkapkan, sebenarnya acara digelar pukul 09:00, namun ada sjumlah kedala seperti sesajen yang belum lengkap. Setelah dilengkapi, akhirnya baru terlaksana pukul 10:00.
Menurutnya, sesaat sebelum Sultan membacakan Sabdaraja, dari mimik wajahnya mengisyaratkan ada beban. Begitupula saat membacakannya. “Sebelum membacakan sabdaraja, beliau (Sultan) duduklama dan diam menunggu sesuatu sekitar 10 menit. Tapi pembacaan sabdaraja enggak ada lima menit,” katanya.
Muluskan Langkan Pembayun
Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Bayu Dardias Kurniadi mengatakan, perubahan nama gelar itu akan berefek cukup luas. Pertama, UUK DIY harus diamandemen sesuai dengan sabdaraja. Sebab gelar raja dalam UUK alah akomodasi Pemerintah Republik Indonesia terhadap Keraton Ngayogyakarta Hdiningrat.
Bayu juga menilai adanya Sabdatama yang dikeluarkan Sultan HB X pada Jumat (6/3) lau di Bangsal Kencana dan ditambah adanya Sabdaraja pada Kamis (30/4) di Sitihinggil, menunjukkan Sultan sedang berupaya memuluskan pewaris tahta dari keturunan biologisnya.
“Sabdatama dan Sabdaraja menunjukkan Sultan sedang menyingkirkan hambatan-hambatan yang menghalangi GKR Pembayun menjadi penerusnya,” katanya.
Setelah prosesi pembacaan Sabdaraja, selanjutnya Sultan memberikan penegasan mengenai isi dari Sabdaraja itu di Keraton Kilen. Di antaranya mengenai penyempurnaan simbol keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun.
“Kata beliau, Keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun telah menina bobokkan Keraton Yogya selama ini,” ujarnya menirukan ucapan Sultan.
Kerabat ini belum bersedia menjelaskan secara lengkap mengenai makna Sabdaraja sesuai penjelasan Sultan. Menurutnya, banyak poin yang dinilai akan memperkeruh suasana. Saat ditanya mengenai sikap keluarga, salah satu Dewan Keluarga ini mengatakan, dalam waktu dekat akan ada musyawarah mengenai hal ini. Terlebih, ada perubahan paugeran yang sudah ada sejak Hamengku Buwono I.
“Beliau bersabda kan pribadi, nanti dewan keluarga akan bersikap. Tapi kalau beliau enggak peduli keluarga ya nggak tahu. Lha paugeran saja diterjang kok,” katanya.
Caranya Tidak Jelas
Sementara itu, GBPH Prabukusumo saat dimintai tanggapan mengenai alasan ketidakhadirannya dalam prosesi tersebut, dirinya masih belum bersedia banyak berkomentar. “Lha kalau acaranya anggak jelas?” , ujarnya kembali bertanya.
Ia juga belum bersedia memberikan tanggapan mengenai isi sabdaraja. Meskipun dirinya tidak hadir, menurutnya hal ini memiliki efek yang besar. Baik di internal keraton maupun masyarakat luas. “Sangat, sangat, sangat sensitif”, katanya.
Penghageng Tepas Pengulon, KMT H Abdul Ridwan yang hadir dalam prosesi tersebut , mengutarakan bahwa dirinya belum bersedia banyak berkomentar, karena khawatir jika nantinya salah menafsirkan isi Sabdaraja.
“Nanti saya mau ketemu beberapa rekan, nanti kita mau membahas mengenai sebenarnya apa yang dikersakke Ngarso Dalem dengan perubahan itu (gelar),” katanya.
Tanggapan berbeda muncul dari Djoko Dwiyanto, sejarawan UGM yang sekaligus Ketua Dewan Kebudayaan DIY. Menurutnya, sabdaraja ini sepenuhnya menjadi hak raja.
“Pada dasarnya setiap pemimpin, dalam hal ini raja yang bertahta memiliki otoritas dan model kepemimpinannya sendiri. Hany saja ada tradisi dalam kerajaan Mataram. Biasanya Raja terakhir menyalin atau menyadur sebuah kitab tertentu sebagai pegangan, dalam hal ini adalah Babad Mataram atau Mentawis. Kitab inilah yang akan menjadi pegangan,” katanya.
Setiap pemimpin, lanjutnya, hidup di zamannya sendiri. Dalam hal ini Ngarso Dalem hidup di zaman modern. Dibandingkan dengan zaman HB IX misalnya, tentu sudah banyak sekali perubahannya. Misalnya saja era 1998 – 1999 yang menimbulkan banyak perubahan. Situasi ini pastilah berpengaruh pula pada raja. Maka kemudian diperlukan perubahan atau reformasi.
“Saya tentu tidak tahu latar belakangnya. Namun, setiap keputusan perubahan, misalnya saja dalam dunia akdemik, tentu diperlukan penjelasan menegnai latar belakangnya. Ibaratnya, ada argumentasinya. Keputusan untuk mebgubah, misalnya saja gelar Buwono menjadi Bawono tentu tidka sesuai dengan pitutur luhur yang dianut HB I sampai HB IX,” imbuhnya.
Untuk itu, ia berpendapat akan sangat baik jika HB X bisa menjelaskan kepada publik alasan perubahan ini. (Dilansir dari Tribun Jogja (06/05/15) hal 1)