Bertempat di lorong gedung BC lantai 1, bincang muda bertajuk Melawan Arus, Menciptakan Arus: “Menelisik Sejarah dan Perkembangan Musik Indie Yogyakarta” yang diadakan oleh Youth Studies Centre (YouSure) FISIPOL UGM bersama LARAS-Studies of Music in Society sukses digelar. Acara tersebut tidak hanya dihadiri oleh para mahasiswa Fisipol namun juga masyarakat umum yang memiliki ketertarikan pada perkembangan musik khususnya musik Indie.
Sebagai pemantik diskusi kali ini, Bincang Muda menghadirkan Indra Menus, founder YK Booking, seorang musisi dan peneliti. Hadir pula dalam diskusi yaitu Wok The Rock dari YesNoWave Music, ia adalah seorang kurator dan seniman. Keduanya saling bergantian memaparkan mengenai sejarah perkembangan musik Indie di Yogyakarta. Diskusi yang dikemas dengan santai tersebut semakin interaktif ketika satu persatu audien juga menggunakan kesempatannya untuk memaparkan gagasan, kritik maupun tanggapan mengenai topik yang sedang diusung.
Terbatasnya akses yang dimiliki anak muda ditahun 1990an, mulai dari akses ekonomi, maupun akses ke industri musik itu sendiri membuat mereka mengalami kesusahan dalam memproduksi maupun mengorganisir sebuah acara adalah suatu kemewahan. Namun, kondisi tersebut berubah ketika muncul semangat DIY (do it your self) dikalangan anak muda. Sebagai bentuk DIY tersebut adalah majalah gaya hidup yang bertemakan anak muda disebarkan di tempat-tempat fotocopy-an. Mulai dari sanalah muncul kesadaran politik anak muda untuk dapat membuat karyanya sendiri. Hal tersebut juga dimulai dari sebelumnya ada gerakan anak punk, zine dan metal dilanjutkan dengan gerakan punk yang membawa isu-isu keseharian dan politik dalam lagu-lagunya.
Wok The Rock memaparkan bahwa, iklim politik kala itu ditahuan 1990an sedang tidak stabil dan membuat budaya DIY itu semakin terdorong. Anak-anak muda semakin menyadari untuk dapat menciptakan karya dan mengorganisir karyanya serta mendistribusikan acaranya sendiri. hal tersebut yang menjadi tonggak ataupun akar-akar lahirnya permusikan indie di Yogyakarta. Dan kala itu terma Indie pun belum mencapai konsensus, dan kala itu juga muncul terma underground yang lekat dengan istilah death metal dan juga musik hip hop. Kemudian seiring berjalannya waktu terma underground pun tidak lagi digunakan.
Di Indonesia sendiri khususnya di Yogyakarta, sejak era 1990an hingga sekarang telah terjadi berbagai perubahan dalam memaknai scene indie, baik itu pada level produksi, konsumsi maupun distribusi. Indra Menus dalam pemaparannya menyebutkan, terma indie dahulu terdapat pertentangan antara kubu radio Geronimo dan common-people, mereka sama-sama memilki pemaknaan musik indie dari sudut pandang yang berbeda. Perbedaan tersebut juga terlihat pada pemaknaan indie dalam bahasa indonesia yang diambil dari kata independen dan mereka yang memahami musik indie dari genre musik indie UK yang lebih terpengaruh pada postpunk. Namun, seiring perjalanannya waktu kedua kubu sama-sama memahami perbedaan terma indie yang mereka mengerti. Dahulu di era 2000an, di Yogyakarta terlihat perbedaan gap utara dan selatan, jika utara genre musik lebih ke party hura-hura, tapi kalau selatan lebih ke seni, politik, artsy. Kemudian yang terjadi sekarang sudah lebih tercampur dan gap tersebut cenderung telah pudar.
Indra menus menambahkan, pertunjukan band indie di era 2000an biasanya organizer di tempat-tempat dengan skala besar misal di auditorium kelurahan, band penampil juga banyak sekitar 25 band, dana juga didapat dari iuran seluruh band untuk menyewa gedung dan alat dan dilakukan di akhir pekan. Mulai tahun 2007 di Yogya, band dalam satu kali pertunjukan sudah mulai dikurangi. Tahun 2008 orang mulai lirik ke cafe-cafe kecil, dari pihak cafe pun memberikan sewa tempat dan alat gratis namun dengan syarat acara yang digelar juga tidak dipungut biaya. Hal tersebut juga menjadi bumerang bagi para musisi band indie itu sendiri, karena masyarakat terbiasa mendatangi gigs yang gratis, ketika harus dimintai uang tiket mereka merasa keberatan. Pihak event organizer yang kemudian harus merogoh kocek yang dalam karena acaranya gratis. Hingga kemudian saat ini masyarakat sudah mulai terbiasa dengan gigs yang berbayar dan makin banyak sponsor yang masuk untuk pertunjukan musik indie ini.
Berbicara mengenai proses produksi dan distribusi karya band indie di Yogya, sebelum era internet merebak dan semua orang dengan mudah mengakses, para musisi yang menggunakan alat-alat yang tidak secanggih dan seinstan sekarang. Tempat rekaman pada saat itu juga belum banyak, masih terpusat di Jakarta, Bandung dan Malang. Cara penggandaannya pun juga masih harus satu persatu, menggunakan disket ataupun kaset. Terdapat fenomena yang menarik di Yogya dalam penyebaran karya musisi indie, mereka menyebarkannya dengan memasukkan file mereka di folder pada warnet (warung internet) di Yogya. “Coba aja kalian kunjungi warnet-warnet yang sudah lama ada. Dan cek bagian folder musik biasanya dinamai musik Indie Jogja, disitu dulu mereka mempromosikan karyanya”, kata Indra Menus.
Kini dengan semakin canggihnya teknologi dan semakin banyak media-media yang memfasilitasi para musisi indie untuk memamerkan karyannya juga dapat menjadi bumerang, karena dengan kemudahan tersebut dapat membuat terlena sehingga timbul rasa malas dan mereduksi inisiatif maupun inovasi baru.
Bicang Muda kali ini, YouSure FISIPOL UGM sebagai pusat kajian anak muda ingin melihat bagaimana anak muda melihat perkembangan musik indie sebagai sebuah kultur yang ada di Yogyakarta. Hal tersebut disampaikan oleh Yanti, salah satu panitia acara Bincang Muda sore itu. Ia mengatakan bahwa diskusi ini menjadi pemantik untuk mereka melakukan riset yang mendalam mengenai perubahan-perubahan yang terjadi pada scene Indie di Yogyakarta, sehingga pada riset kali ini YouSure bekerja sama dengan LARAS Studies of Music in Society yang telah terlebih dahulu memiliki concern di bidang musik. Harapannya, dengan diadakannya Bincang Muda kali ini dapat semakin memperdalam riset yang sedang mereka lakukan. (di)