“Permasalahan pangan merupakan permasalahan yang multidimensi. Karena soal pangan bukan hanya sekedar ketahanan pangan, namun juga persoalan mencapai kedaulatan pangan,” ungkap Prof. Dr. Mochammad Maksum Machfoedz, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian, UGM. Ia merupakan pembicara utama dalam seri diskusi Sosial Development Talks(SoDeT)ke-enam yang bertajuk “Politik Kesejahteraan: Mengapa Impor?”. Acara ini diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fakultas Ilmu Sosial (Fisipol) UGM pada Jumat (23/2).
Seri diskusi diawali dengan pembahasan mengenai diskursus politik dalam ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. “Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan, rasa aman dari kelaparan. Ibaratnya lapar, lalu ada makanan seadanya dan masuk perut, itu kondisi sudah aman. Tapi, kedaulatan pangan beda. Kedaulatan pangan itu ada power dan hak untuk mengatur mau makan apa, kapan, dan bagaimana bisa mengakses pangan itu,” jelas Prof. Maksum. Empat komponen utama dalam kedaulatan pangan adalah availability, accessibility, reliability, dan quality. Menurutnya, kedaulatan pangan harus menjadi kiblat kebijakan pangan nasional sebagai instrumen dasar stabilisasi dan desentralisasi pertumbuhan ekonomi.
Dalam prakteknya, Prof. Maksum mengungkapkan bahwa Indonesia masih memiliki banyak permasalahan dalam mencapai kedaulatan pangan. Berbagai pekerjaan rumah masih membayangi pemerintah, khususnya dalam mengatasi kompleksitas permasalahan politik, sinergi antar stakeholder, serta terkait implementasi kebijakan pangan itu sendiri. “Dalam satu butir beras, terdapat berbagai lapis persoalan politis yang menaunginya. Berbagai kebijakan yang malah tidak bijak, dan politik kesejahteraan yang malah tidak menyejahterakan,” ujar Prof. Maksum. Menurut Prof. Maksum, urusan sebutir beras bukan hanya urusan finansial dan efisiensi semata, namun sebutir beras juga menjadi pemasalahan multi-urusan, yaitu finansial, ekonomi, politik, kultur, dan keadilan.
“Orientasi pembangunan ekonomi dalam pangan, harus ditujukan untuk mencapai kedaulatan pangan, tidak cukup hanya dengan ketahanan pangan. Kedaulatan pangan adalah masalah hidup, mati, dan keadilan,” jelas Prof. Maksum. Permasalahan kelangkaan pangan yang kerap menaungi isu pangan disebut sebagai sebuah balada pelangkaan. “Adanya model kebijakan beras-siasi dari ujung ke ujung Indonesia, wafatnya ‘si mocaf’, cabe rawit yang makin ‘genit’, ‘bully dan gratifikasi’ bakso sapi, hanyalah beberapa permasalahan yang melapisi permasalahan pangan yang kita hadapi saat ini,” tambah Prof. Maksum. “Pada akhirnya, rantai terbawahlah -orang-orang kecil- yang merasakan perihnya dampak dari kebijakan ini dan itu,” ujar Maksum.
Selanjutnya dalam diskusi yang berjalan, Prof. Maksum mengungkapkan untuk mencapai kedaulatan pangan dibutuhkan sinkronisasi, baik dari stakeholder pemerintah, civil society dan mahasiswa. Ketiga elemen tersebut harus bersama-sama mengawasi berbagai kebijakan yang diterbitkan, khususnya terkait pangan. Kebijakan yang dibuat sudah seharusnya tepat sasaran, benar-benar menyejahterakan dan berkeadilan. Permasalahan kelangkaan yang terjadi, juga harus ditelaah secara kritis. “Kelangkaan pangan bukan hanya soal angka, namun juga soal legalisasi dan legalitas impor, politik kesejahteraan, dan efeknya kepada orang kecil,” ungkap Prof. Maksum.(/fdr)