Ambassodarial Lecture: Inklusifitas Masyarakat Kanada Dapat Menjadi Pelajaran Berharga Bagi Indonesia

Yogyakarta, 20 Maret 2019—Masyarakat yang beragam identitas sosial dan agama membutuhkan inklusifitas agar suskes menjadi masyarakat yang harmonis. Agar inklusifitas dapat diraih, perlu adanya sistem demokrasi representasi yang baik, begitu ujar H.E Duta Besar Kanada untuk Indonesia Bapak Peter McArthur dalam Ambassadorial Lecture di Fisipol UGM.

Sebagai sesama masyarakat yang terdiri dari berbagai latar belakang, Kanada dan Indonesia memiliki kesamaan yang cukup signifikan. Kedua negara sama-sama menerapkan sistem demokrasi sebagai sistem politik,lalu keduanya sama-sama memiliki bahasa, suku bangsa, dan agama yang beragam.

Keduanya juga sedang mengahadapi Pemilihan Umum ditahun ini, ditengah maraknya ujaran bahkan tindak pidana kebencian, H.E Peter McArthur menceritakan bagaimana Kanada sebagai masyarakat majemuk dapat menerima perbedaan dan menerapkan Inklusifitas bagi semua warganya.

Kanada sendiri memiliki 200 bahasa dan bermacam bangsa. Menurutnya, Kanada merupakan komunitas dari minoritas, mengingat mayoritas penduduknya merupakan pendatang. Secara agama pun sangat beragam, Islam sendiri menjadi agama terbesar kedua dan memiliki pertumbuhan paling pesat di Kanada.

“Keberagaman adalah fakta, namun inklusifitas merupakan pilihan. Kanada memilih untuk melakukan inklusi ke semua warganya. Para pengungsi bukanlah pendatang namun warga Kanda yang baru,” ujarnya.

Beliau kemudian menunjukkan beberapa kisah pendatang yang berhasil mendapatkan kesuksesan di Kanada. Seperti Ahmed Hussen, seorang Somalia yang pada tahun 2015 menjadi Menteri Imigrasi, Kepengungsian dan Kewarganegaraan, kisah tersebut menunjukkan keberhasilan inklusifitas dalam masyarakat Kanada.

Inklusifitas tersebut berhasil diterapkan oleh Kanada dengan ditopang oleh sistem demorkasi representatif yang berjalan dengan baik. Jika melihat susunan kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Justin Trudeau kini, terlihat komposisinya sangat beragam secara ras, gender dan usia.

Sistem tersebut menurutnya, hanya akan bisa berjalan jika masyarakatnya menerapkan cara berfikir kritis dalam melakukan pilihan politik, khususnya dalam Pemilihan Umum. Ia juga menyayangkan banyak generasi muda yang apatis terhadap politik khususnya politik elektoral, padahal hal tersebut sangat menentukan arah masyarakat kedepannya.

Beliau menyebutkan bahwa banyak mahasiswa asal Asia yang belajar di universitas di Kanada, dan pelajar Indonesia sudah mulai banyak yang meminati Kanada sebagai tujuan belajarnya. Kemudian beliau juga menambahkan bahwa pihaknya bersama Dekanat dan GEO Fisipol sedang mendiskusikan kemungkinan kerjasama pertukaran pelajar.

Diskusi dimulai dengan sambutan dari Wakil Dekan Bidang Kerjasama, Alumni, dan Penelitian Dr. Poppy Sulistyaning Winanti dan dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh H.E Peter McArthur. Selepas pemaparan Materi, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab terkait pembahasna materi maupun pertanyaan seputar kondisi Indonesia dari kacamata Kanada.

Ambassadorial Lecture merupakan kegiatan seminar umum yang dilaksanakan oleh Global Engagement Office (GEO) Fisipol UGM. Ambassadorial Lecture kali ini mengambil tema “Diversity, Inclusion, and Democracy” dan dilaksanakan pada selasa 20 Maret 2019 di Seminar Timur Fisipol UGM. (AAF)