Berbagi Cerita dan Opini mengenai HAKI di Era Digital dalam Oposit #6 CfDS

Yogyakarta, 5 Agustus 2020—Center for Digital Society kembali hadir dengan Obrolan dan Opini Seputar Dunia Digital. Pada Oposit edisi keenam ini, CfDS mengangkat topik seputar hak atas kekayaan intelektual atau HAKI di era digital. Irnasya Shafira—asisten riset CfDS—selaku host Oposit kali ini, membuka sesi dengan menjelaskan sedikit tentang HAKI di era digital yang ia ketahui. Ines menjelaskan bahwa ternyata film bajakan yang selama ini banyak dinikmati oleh masyarakat merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAKI.

Sama seperti episode lainnya, Oposit kali ini juga diselenggarakan melalui sesi siaran langsung Instagram CfDS. Namun, yang sedikit membedakan adalah selain mengundang para penonton untuk membagikan cerita dan opininya, kali ini CfDS juga menghadirkan narasumber untuk berbagi informasi seputar HAKI di era digital.

HAKI juga berkaitan erat dengan beberapa pekerjaan, salah satunya adalah content creator. Hal ini sesuai yang disampaikan oleh Seren, penonton pertama yang bergabung dengan sesi siaran langsung untuk berbagi cerita dan opininya. Seren adalah seorang social media specialist dan content creator untuk beberapa brand. Dalam pekerjaannya tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa suatu konten kemungkinan besar “terinspirasi” dari konten-konten yang sudah ada. Dalam suatu konten pasti terdapat beberapa elemen pendukung yang diambil dari situs lain—semacam freepik untuk desain—yang ternyata memiliki hak cipta sehingga tidak boleh asal digunakan.

Maing-masing situs memiliki ketentuan yang berbeda-beda dalam mengatur pencantuman HAKI. Ada situs yang memperbolehkan penggunaan secara gratis tetapi harus disertai kredit, ada juga yang secara tegas harus membayar. Penggunaan secara gratis dengan penyertaan kredit juga ternyata menjadi dilema tersendiri, sebab pada kenyataannya banyak yang tidak menyertakan kredit, tetapi tetap “lolos” karena sulitnya melacak konten tersebut.

Selain konten desain, Seren juga menceritakan persoalan HAKI dalam konten review film. Akun-akun review film asal Amerika yang ia suka, beberapa kali terkena kasus karena penyertaan klip film dalam videonya. Penyertaan klip film yang memiliki copyright ini menyebabkan takedown atas konten review tersebut. Namun, di Amerika, ada sebuah peraturan yang bernama fair usage. Dalam fair usage, yang dipermasalahkan adalah seberapa jauh perubahan yang dilakukan oleh pembuat konten atas materi asli yang disertakan. Dengan adanya fair usage ini, para pembuat konten—dalam hal ini reviewer film—dapat memenangkan kasus karena klip yang ia sertakan hanyalah pemanis. Berbeda dengan Amerika, Seren sendiri merasa bahwa Indonesia jauh lebih santai dengan kasus-kasus pelanggaran HAKI di era digital seperti yang sudah ia ceritakan tadi.

Kisah berbeda diceritakan oleh Shirley, penonton kedua yang bergabung dalam sesi siaran langsung Oposit. Sebagai seseorang yang gemar membuat konten cover lagu, ia menjadi paham mengenai HAKI dalam dunia permusikan. Ada kalanya—bahkan cukup sering—sebut Shirley, kasus yang mana penyanyi dan pencipta suatu lagu kalah tenar dengan orang yang melakukan cover atas lagu tersebut. Hal ini terjadi sebab banyak pembuat cover lagu yang tidak memberikan kredit pada pencipta dan penyanyi aslinya. Shirley sendiri selalu memberikan kredit pada pencipta dan penyanyi asli dari lagu yang ia cover. Baginya, penyertaan kredit ini kembali lagi pada kesadaran diri masing-masing individu.

Dalam HAKI sendiri ada tiga aspek besar yang masih belum banyak orang ketahui. Ada batas tipis dalam pemahaman orang-orang mengenai tiga aspek besar ini, sebut Rijal—narasumber yang dihadirkan dalam sesi Oposit kali ini. Tiga aspek besar tersebut antara lain hak cipta—hasil dari pemikiran yang dituangkan dalam bentuk nyata dan bersifat deklaratif, kekayaan industrial—merujuk pada bagaimana seseorang menciptakan sesuatu yang baru dan diakui secara legal seperti paten dan trademark, serta indikasi geografis—hal-hal yang melekat pada kondisi geografis.

Rijal menjelaskan bahwa dalam hak cipta terdapat hak moral dan hak ekonomi. Selama seseorang belum melakukan fiksasi atau penggandaan dari hasil karyanya, ia belum memiliki hak ekonomi atas karya tersebut. Di sini, ia hanya memiliki hak moral yang mana hak moral ini tidak dapat digunakan untuk melindungi karyanya. Sementara itu, dalam kasus kekayaan industrial, yang dilihat adalah seberapa mirip dan identik suatu karya atas karya lain.

Oposit edisi keenam berjalan dengan sangat seru. Ines selaku host membawakan sesi siaran langsung dengan sangat ramah dan interaktif dengan seluruh penonton, sehingga banyak penonton yang ikut membagikan ceritanya pada kolom komentar. Tayangan ulang dari Oposit #6 ini dapat ditonton di kanal IGTV CfDS. Bagi yang masih tertarik untuk membahas HAKI di era digital lebih lanjut, dapat mengikuti acara Difussion milik CfDS besok yang akan membahas topik tersebut. (/hfz)