Beyond the Great Wall #7: 2020 Tahun Sibuk Bagi Cina

Yogyakarta, 21 Februari 2020— Awal tahun lalu, Cina ditimpa nasib buruk. Wabah penyakit penular yang diyakini berasal dari pasar hewan dan ikan laut di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat Cina, mulai menyebar dan memakan banyak korban di berbagai negara. Novel Corona Virus, nama penyakit itu, datang dan memicu kecemasan kolektif masyarakat dunia. Peristiwa tersebut membuat Cina dilanda citra buruk.

Bagi Cina, masalah itu hanya satu dari beberapa pekerjaan rumah yang harus dibereskan setahun ke depan. Pada Jumat lalu, Institute of International Studies (IIS) Fisipol UGM membahas hal tersebut secara rinci dalam acara bertajuk Beyond the Great Wall #7: Tantangan Cina di Awal Tahun 2020. Acara berlangsung di Ruang Sidang Dekanat Fisipol UGM dari pukul 09.00 hingga pukul 11.30. Nuruddin Al Akbar, Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik UGM, dan Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, Dosen Ilmu Hubungan Internasional UGM, menjadi pembicara dalam acara itu.

“Cara terbaik Cina dalam menghadapi Virus Corona tak cukup dilakukan dengan meminimalisasi penyebarannya. Lebih jauh, rakyat Cina harus saling mendukung dan berangkulan untuk melawan konstruksi buruk masyarakat dunia lewat spirit Wuhan Jiayou,” kata Nuruddin. Wuhan Jiayou adalah spirit kemanusiaan masyarakat Kota Wuhan untuk bertahan dari masalah yang tengah menyerang mereka. Semenjak Wuhan ditutup lockdown lantaran wabah mematikan itu, para penduduk mulai memberi semangat satu sama lain dengan memekikkan “Wuhan Jiayou!” lewat jendela apartemen mereka.

Dalam bahasa Indonesia, pekikan itu berarti “Jangan Menyerah Wuhan!”. Sebuah video yang merekam peristiwa itu viral di internet dan memunculkan simpati masyarakat dunia. Menurut Nuruddin, fenomena Wuhan Jiayou adalah bentuk introspeksi bagi Cina untuk berhenti melakukan sentralisasi kekuasaan yang cenderung monolog dan anti-kerja sama. “Untuk menghadapi masalah dan mewujudkan cita-cita bersama, Cina harus membentuk nuansa kepemerintahan yang kooperatif dan dialogis,” tambah Nuruddin.

Adapun Dr. Rachmat Yuliantoro berkesempatan untuk menyampaikan review buku George Magnus yang berjudul Red Flags: Why Xi’s China is in Jeopardy. Secara umum, buku tersebut berisi tentang berbagai permasalahan yang muncul ketika Cina berada di bawah pemerintahan Xi Jinping.

Rachmat mengatakan, empat masalah utama Cina yang banyak disoroti dalam buku meliputi persoalan utang yang besar, Yuan (mata uang Cina) yang terlalu diatur mobilitas dan nilai tukarnya oleh pemerintah, keterjebakan Cina pada satu tahap pembangunan tertentu (middle income trap), serta angkatan kerja Cina yang semakin rendah akibat kebijakan satu anak yang digalakkan pemerintah.

“Empat poin masalah tersebut dibayangkan Magnus sebagai empat bintang kecil di bendera RRC yang mengancam keberadaan satu bintang yang paling besar. Bintang besar yang dimaksud ialah Partai Komunis Cina,” kata Rachmat. Apapun yang terjadi, keberlangsungan sebuah negara bergantung pada kesanggupan pemerintahannya untuk menghadapi masalah. Perihal itu, kepercayaan rakyat juga menjadi hal yang tak boleh dilupakan.

Virus Corona dan “empat bintang kecil” adalah pekerjaan rumah yang bisa jadi beres dalam waktu setahun ke depan. Akan tetapi, pemerintah Cina tak boleh lupa akan urusan penting lainnya: bagaimana cara untuk tetap membuat rakyat percaya pada pemerintah di tengah banyak masalah dan wabah yang merenggut hidup mereka? (/Snr)