Yogyakarta, 20 Agustus 2025—Perubahan iklim membawa disrupsi besar pada hampir seluruh sektor di dunia. Setiap negara berlomba-lomba menyusun kebijakan terbaik untuk menjaga keberlangsungan kehidupan masyarakat saat ini dan di masa depan. Diskursus ini hadir dalam Bulaksumur Roundtable Forum 2025 yang digelar dengan mengusung tema demokrasi dan lingkungan. Menghadirkan sejumlah pembicara dari kalangan pakar, pemerintah, dan akademisi, forum bertema “Promoting Environmental Democracy to Counter the Climate Crisis” dilaksanakan pada Rabu (20/8).
Ravio Patra, Indonesia Country Director of the Westminster Foundation for Democracy (WFD) menyampaikan bahwa Indonesia menjadi negara yang memiliki kebijakan pengelolaan sumber daya alam terbaik di antara negara-negara ASEAN pada tahun 2015. Namun perlu ada paradigma lain yang dapat mengulas kebijakan tersebut, khususnya kebijakan yang berorientasi pada masyarakat. “Karena balik lagi, kebijakan harus bisa bermanfaat bagi masyarakat. Kalau kita bicara tentang lingkungan, kita tidak hanya diskusi soal banjir atau kebakaran hutan, melainkan juga seberapa siap masyarakat dan apa yang pemerintah telah lakukan,” ungkap Patra.

Perubahan iklim bukan suatu masalah yang terpusat pada satu induk masalah saja. Dibutuhkan kolaborasi dan pemahaman bahwa sistem sangat memengaruhi dampak perubahan iklim. Kebijakan pemerintah menjadi kunci untuk memastikan problematika ini tidak menimbulkan kesenjangan yang lebih dalam antar masyarakat. Sebaliknya, kebijakan negara yang baik dalam menghadapi perubahan iklim harus bersifat inklusif dan berkeadilan.
Patra menambahkan, suka atau tidak ada banyak tantangan perubahan iklim yang perlu disiapkan. Terutama karena dukungan dunia di sektor finansial mulai bergerak ke arah masalah ini. Namun pergerakan iklim di Indonesia justru banyak tumbuh secara organik di masyarakat. Artinya kesadaran masyarakat akan perubahan iklim sudah mulai tumbuh. Pemerintah harus mampu merumuskan kebijakan berbasis akar rumput yang dapat menjangkau hingga satuan terkecil masyarakat.
Sejalan dengan itu, Kepala Departemen Politik dan Pemerintah (DPP) UGM, Abdul Gaffar Karim mengatakan bahwa solusi penting dalam hal ini adalah berkolaborasi. Akademisi tidak bisa bergerak sendiri tanpa ranah hilirisasi riset, industri juga tidak bisa bergerak sendiri tanpa riset akademik, dan pemerintah juga tidak dapat mengimplementasikan kebijakan dengan baik tanpa dukungan akademisi dan industri. Maka penguatan komitmen guna mewujudkan pemerintah hijau perlu dilakukan melalui sinergi multi sektor.

Pernyataan tersebut didukung oleh pidato Duta Besar Inggris Raya untuk ASEAN, Helen Fazey. Menurutnya, ASEAN adalah salah satu wilayah yang sangat terdampak oleh perubahan iklim. Dilihat dari sisi geografis, ASEAN tersusun atas pulau-pulau yang memiliki ciri khas agraria dan maritim yang kuat. Kebijakan pemerintah hijau perlu dilakukan untuk memperkuat potensi sumber daya alam tersebut, khususnya di bidang ketahanan pangan dan energi terbarukan. Lebih dari itu, ASEAN memiliki potensi untuk turut menyokong penanganan perubahan iklim di dunia.
“Dengan forum, politikus, masyarakat, dan akademisi adalah satu contoh di mana kita dapat menemukan inisiatif kreatif untuk meningkatkan ambisi, memperkuat pemerintah hijau, dan berjuang melawan perubahan iklim,” ucap Helen.
Pada forum Bulaksumur Roundtable Forum 2025, Departemen Politik dan Pemerintah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM meluncurkan ASEAN Environmental Democracy Observatory Report & Datasets bersama Westminster Foundation for Democracy (WFD) di sejumlah negara Asia Tenggara: Kamboja, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Timor-Leste. Assesment ini dikelola oleh Research Centre for Politics and Government (PolGov) bersama mitra assesor di tujuh negara lain tersebut. Kolaborasi ini diharapkan mampu mendorong kebijakan pemerintah hijau di ASEAN secara demokratis, berkeadilan, dan inklusif bagi masyarakat. (/tsy)