C-HUB: Pengembangan Energi Baru Terbarukan dari Perspektif Sosial, Ekonomi, dan Politik

Yogyakarta, 26 Juni 2020—Creative Hub Fisipol UGM mengadakan diskusi Bukan Bincang Biasa secara daring melalui platform Google Meet. Diskusi ini menghadirkan narasumber yang berkaitan dengan isu-isu kontemporer khususnya dalam hal inovasi sosial. Pada kesempatan kali ini, isu yang diangkat adalah peluang dan tantangan dari pengembangan energi baru terbarukan dalam perspektif sosial, ekonomi, dan politik. Diskusi pun menghadirkan Agus Wicaksono—CEO Alumnia, Fano Alfian—CEO Ailesh Power, dan Wawan Mas’udi—Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan, sebagai pembicara.

Diskusi dimulai sekitar pukul 14.34 WIB. Sebagai pembuka, moderator—Dea Karina, Knowledge Management Creative Hub—menyapa para pembicara yang sudah hadir di ruangan Google Meeting terlebih dahulu. Tidak lupa moderator juga memperkenalkan diri dan Creative Hub, serta membacakan peraturan diskusi sebelum mulai masuk ke materi. Pembahasan pertama disampaikan oleh Agus Wicaksono, CEO Alumnia.

Agus lebih banyak menyampaikan materi dari perspektif ekonomi, terutama terkait dengan pendanaan. Agus menjelaskan konsep pendanaan UMKM yang lebih umum terlebih dahulu, sebelum akhirnya membahas investasi dan pendanaan di sektor energi baru terbarukan. Banyak UMKM yang memilih bentuk pendanaan berupa equity crowdfunding (ECF) sebab ECF bersifat penyertaan modal, investasi, dan urunan dana. ECF tidak sama dengan P2P Lending yang lebih cenderung bersifat pinjam meminjam. Dalam pendanaan berupa ECF, keuntungan yang dihasilkan akan dinikmati bersama oleh para investor. Jika UMKM mengalami kerugian, maka kerugian pun akan ditanggung bersama. Agus mengatakan, konsep pendanaan melalui ECF dan bagi hasil merupakan bisnis yang mengusung konsep kesetaraan baik. Dengan bentuk pendanaan yang demikian, partisipasi masyarakat pun dapat ditingkatkan.

Agus pun menjelaskan mengapa investasi dalam sektor energi baru terbarukan dibutuhkan dari sudut pandang investor. Energi yang biasa masyarakat gunakan—energi berbahan baku fosil—makin lama akan semakin habis, sulit, dan juga mahal karena ketersediaannya terbatas. Sementara itu, populasi manusia yang semakin banyak akan menyebabkan industri berjalan semakin kencang. Di sinilah, energi baru terbarukan dibutuhkan dan semakin menarik untuk dikembangkan.

Apa yang dijelaskan oleh Agus sejalan juga dengan pemaparan dari Fano Alfian, CEO Ailesh Power, terutama topik peningkatan partisipasi masyarakat. Namun, sama seperti Agus, di awal pemaparan, Fano lebih berfokus membahas materi dari sudut pandang yang lebih umum. Fano membahas konsep-konsep dasar dalam memahami energi baru terbarukan (EBT) terlebih dahulu, seperti ciri-ciri dari EBT, alasan pentingnya pengembangan EBT, potensi EBT di Indonesia, dan regulasi terkait pengembangan EBT di Indonesia. Setelah itu, barulah Fano masuk ke pemaparan mengenai biomasa lokal.

Localised biomass, atau biomasa berbasis lokal, merupakan salah satu bentuk pengembangan biomasa yang dikelola dalam skala dan kapasitas kecil. Jika biomasa pada umumnya dikelola dengan skala yang cukup besar, dibawa dari satu tempat ke tempat lain sampai akhirnya dikumpulkan di pusat pengelolaan, pada pengembangan biomasa berbasis lokal semua proses tersebut dilakukan dalam level komunitas. Dapat dikatakan, pengembangan biomasa berbasis lokal cenderung bersifat lebih otonom, sebab produksi dan konsumsi dari biomasa sepenuhnya dilakukan oleh daerah atau komunitas yang bersangkutan. Konsep inilah yang sejalan dengan pemaparan ECF dari Agus—bagaimana masyarakat lokal memiliki rasa kepemilikan dengan pengelolaan biomasa di daerah tersebut.

Sesi pembahasan ditutup oleh penyampaian materi dari Wawan Mas’udi, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan. Di sini, Wawan lebih banyak membahas pengembangan energi baru terbarukan dari sudut pandang sosial dan politik. Wawan menyebutkan bahwa pengembangan energi baru terbarukan merupakan isu penting, bahkan dari sudut pandang sosial politik. Politik pada dasarnya berhubungan dengan pengelolaan resources agar pemanfaatannya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan publik secara lebih adil. Kenyataannya, salah satu resources yang menjadi kebutuhan dasar manusia adalah energi. Tidaknya tepatnya pengelolaan energi dapat mengakibatkan suatu konflik, seperti yang sering terjadi pada peperangan di masa lalu—contoh yang diambil Wawan. Namun, pengelolaan energi yang tepat bisa meningkatkan sistem keadilan untuk masyarakat.

Dari perspektif sosial, sebut Wawan, energi merupakan dimensi penting dari kesejahteraan masyarakat. Maka, pengelolaan energi yang tepat perlu disoroti agar terbangun kehidupan yang lebih adil dan setara. Untuk memperdalam pembahasan, Wawan juga memaparkan hasil riset yang pernah ia dan tim lakukan terkait pengembangan energi baru terbarukan.

Diskusi diakhiri dengan sesi tanya jawab. Peserta sejak awal diskusi menunjukkan antusiasme yang tinggi dengan memberikan berbagai pertanyaan di kolom komentar. Karena keterbatasan waktu, seluruh pertanyaan yang sudah terkumpul dipilih beberapa oleh panitia; masing-masing pembicara mendapatkan beberapa pertanyaan untuk dijawab. Diskusi pun resmi ditutup pukul 16.30 WIB. (/hfz)