CEO Talk CfDS Bekerjasama Dengan Cisco Indonesia Dalam Talkshow Soal Teknologi, Artifical Intelligence, dan Persaingan Ekonomi

Yogyakarta, 21 Agustus 2019—Talkshow yang dihelat di Convention Hall FISIPOL UGM ini dibuka dengan sesi bicara oleh Marina Kacaribu, General Manager Cisco Indonesia. Hanya saja, Kacaribu tidak di Yogyakarta, apalagi di FISIPOL–ia berada di dalam mobil, di Jakarta, sembari memaparkan materi kepada audiens melalui platform media sosial Skype. Bermodalkan gawai dan koneksi internet, Kacaribu memaparkan perkembangan teknologi yang eksponensial dari waktu dan ke waktu, serta bagaimana teknologi dapat mempermudah kehidupan manusia, jika dimanfaatkan dengan benar.

“Akan semakin banyak teknologi yang tidak kita pikirkan hari ini,” ujarnya. “Pertemuan ini, misalnya, barangkali dulu tidak terpikirkan bahwa orang yang jaraknya berjauhan bisa berkomunikasi secepat ini, real-time.” Sesi Kacaribu kemudian ditutup, dilanjutkan dengan talkshow seperti biasa. Acara dimoderatori oleh Prof. Dr. Erwan Agus Purwanto selaku Dekan FISIPOL UGM.

“Kini yang menjadi tren dan masih terus dikembangkan adalah artifical intelligence,” ujar Chandra Herawan, Senior Manager Collaboration Business Cisco System Asia Region. Ia memaparkan bahwa kata ‘artifical intelligence’ kerap menjadi momok bagi masyarakat, padahal keberadaannya tanpa disadari sudah hadir dalam kehidupan sehari-hari. Video-call dengan Kacaribu, misalnya, “kita dapat lihat bahwa di perjalanan, ketika (dari sisi Kacaribu) terdapat gangguan sinyal, maka secara otomatis resolusi menjadi turun, tetapi suara tetap jelas. Ini membuktikan bahwa mesin berpikir bagaimana caranya agar komunikasi tetap lancar, meski terdapat gangguan.” Dalam sistem Skype, sebut Herawan, tidak ada teknisi yang stand-by mengawasi kelancaran telepon dan seccara manual mengatur apabila muncul gangguan. Semua dilakukan secara otomatis oleh artifical intelligence.

Meski begitu, bukan berarti kita tidak harus bersiap-siap dalam menghadapi perkembangan ini. Semakin berkembangnya artifical intelligence akan semakin, “menghilangkan banyak hal yang kita ketahui sekarang,” ujar Herawan. “Semakin lama, industri yang tidak relevan dengan pasar akan semakin mudah hilang” tambah Herawan. Karenanya, angkatan kerja harus mampu memanfaatkan teknologi untuk dapat bersaing secara ekonomi. Ia mengambil contoh layanan Go-Food, layanan yang di saat yang sama menggantikan transaksi uang kartal dan menawarkan jasa antar-jemput makanan dengan mudah “aspek fintech dan hospitality (keduanya) ada sekaligus.”

Kesiapan masyarakat terkait perkembangan ini perlu ditingkatkan, sebab tidak hanya persaingan ekonomi, akan ada banyak aspek sosial yang juga berubah. Herawan kemudian mengambil contoh self-driving car yang menggunakan artificial intelligence. “Dari yang paling sederhana seperti kaca spion dan setir akan digantikan. Industri penghasil barang ini jadi tidak relevan lagi, hotel menjadi tidak perlu karena orang bisa beristirahat di jalan, biaya asuransi semakin kecil bahkan tidak ada, minyak bumi tidak lagi perlu,” paparnya, “sampai ke aspek penegakan hukum. Jika begini (keadaannya), apa masih perlu polisi di jalan?”

Persaingan di era teknologi menjadi sangat berat karena perusahaan yang telah berdiri lama dan memiliki basis pasar yang besar sekalipun tidak imun dari resiko. Dipaparkan Herawan, perusahaan-perusahaan berbasis teknologi kini punya aset lebih banyak daripada perusahaan-perusahaan lama yang tidak berinovasi. “Orang selalu mengira letak kompetisinya ada pada harga, padahal hal utama yang membuat teknologi lebih dipilih pasar adalah experience yang ditawarkan,” ujar Herawan. Dengan kata lain, kompetisinya terletak pada siapa yang paling mampu menawarkan pengalaman yang lebih berkesan bagi konsumen dari berbagai aspek seperti kemudahan, efisiensi, kecepatan, maupun harga.

Meski begitu, tentunya perkembangan dan potensi ini memiliki tantangan tersendiri. Biaya dan keamanan, salah satunya. Keduanya berhubungan karena, “karena data adalah komoditas, biasanya perusahaan yang menawarkan kemudahan dengan harga yang terjangkau atau bahkan gratis, menggunakan data (pribadi pengguna) sebagai source of funding-nya.” Layanan yang berbayar biasanya lebih aman karena data tidak perlu dijadikan sumber pembiayaan.

Di sisi lain, data pengguna juga merupakan bahan untuk memberikan kemudahan untuk pengalaman yang lebih nyaman, “semakin mudah dan murah, biasanya semakin tidak aman.” Tantangan inilah yang masih harus dijawab, membutuhkan kerjasama dari pihak swasta dan juga pemerintah dalam meregulasi. Purwanto menambahkan, “potensi kegagalan (dari teknologi) juga selalu ada, Kasus Boeing misalnya. Tetapi kita tetap harus optimis bahwa dari setiap kegagalan tersebut akan ada temuan baru untuk perbaikan ke depannya.”

Herawan kemudian memaparkan soal inovasi terbaru Cisco, Webex, jaringan berbasis artifical intelligence yang berguna untuk pertemuan maupun kelas. Dengan hanya menggunakan layar, software dapat mengenali wajah, secara intuitif menerima dan melaksanakan perintah tertentu seperti menelpon orang lain, menampilkan data, dan menyortir data tersebut sesuai kebutuhan. Semua dilakukan tanpa perlu memberi perintah yang terlalu spesifik. Inovasi ini, menurut Herawan, akan mempermudah dan meningkatkan produktivitas.

Terkait lapangan pekerjaan yang dikhawatirkan, Herawan menyebut bahwa teknologi memang akan menyebabkan kehilangan sektor-sektor pekerjaan, tetapi juga akan menciptakan lapangan-lapangan pekerjaan baru. “Artificial intelligence dan teknologi secara keseluruhan harus dipahami dan dipelajari agar bisa bersaing, termasuk dengan negara lain. Barangkali di masa depan, AI dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti cara mengentas kemiskinan, atau peluang bisnis apa yang bisa dieksplor,” tutup Purwanto. (/KY)