
Yogyakarta, 4 Juli 2025—Di tengah tingginya penetrasi internet di kalangan anak-anak, keamanan ruang digital menjadi perhatian mendesak. Data BPS 2024 menunjukkan bahwa 35,5 persen anak usia 0–4 tahun telah mengakses internet, menandakan bahwa paparan digital kini dimulai sejak usia sangat dini. Hal ini tidak hanya membawa peluang, tetapi juga tantangan serius, mulai dari paparan konten berbahaya, cyberbullying, hingga penyalahgunaan seperti eksploitasi digital. Menanggapi kondisi ini, Centre for Digital Society (CfDS) UGM menggelar diskusi publik DIFUSSION #124 bertajuk “Menjaga Ruang Digital Anak: Dapatkah PP TUNAS Menjadi Jawaban?”. Diskusi ini menghadirkan para pakar di bidang perlindungan digital anak, antara lain Andy Ardian (Koordinator Nasional ECPAT Indonesia), Nenden Sekar Arum (Direktur Eksekutif SAFENet), dan Ayom Mratita Purbandani (Peneliti CfDS UGM), dengan moderator Nabila Rizkita (Peneliti CfDS UGM).
Diskusi ini mengupas Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak dalam Sistem Elektronik atau PP TUNAS, sebagai upaya negara dalam memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak di ranah digital. Andy Ardian membuka diskusi dengan sorotan terhadap meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak secara daring. “Pada 2024, kami menerima 707 laporan, dan 236 di antaranya terbukti sebagai konten CSAM atau Child Sexual Abuse Material,” ungkap Andy dalam pemaparannya. Lebih lanjut Andy mengkhawatirkan Indonesia menjadi tempat aman untuk menyimpan konten-konten semacam ini, dan menekankan pentingnya peran pemerintah dan platform digital dalam merespons serta menekan distribusi konten kekerasan terhadap anak.
Nenden Sekar Arum menggarisbawahi pentingnya akuntabilitas platform digital. “Anak-anak adalah pengguna yang rentan, dan platform memiliki kuasa atas algoritma serta monetisasi yang memengaruhi paparan dan perilaku mereka. Tanpa transparansi dari platform, kita tidak tahu bagaimana sistem ini bekerja atau bagaimana risiko diatur,” jelasnya. Menurut Nenden, perlindungan anak tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab etis dan bisnis para pelaku industri digital. Sementara itu, Ayom Mratita menyoroti kekurangan dari PP TUNAS yang meskipun menjadi langkah maju, masih memiliki sejumlah kelemahan. “Regulasi ini merupakan turunan dari UU ITE, bukan UU PDP (Perlindungan Data Pribadi), sehingga masih lemah dalam aspek pengelolaan data pribadi anak,” tuturnya. Ia juga menyinggung absennya standar teknis untuk verifikasi usia, tidak adanya definisi yang jelas tentang “tingkat privasi tinggi”, serta minimnya mekanisme pelibatan anak dalam desain sistem digital.
Sebagai penutup, seluruh narasumber sepakat bahwa PP TUNAS adalah langkah awal yang perlu dikawal dan disempurnakan. Perlindungan anak di ruang digital harus menjadi agenda bersama dengan kolaborasi antara pemerintah, platform digital, masyarakat sipil, serta suara anak itu sendiri sebagai pemilik masa depan ruang digital yang lebih aman. (/noor)