Covid-19 dan Krisis Tata Kelola Kesehatan Global

Yogyakarta, 17 April 2020—“Semua krisis melahirkan tata kelola global yang baru,” ungkap Diah Kusumaningrum pada seri diskusi ke #6 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik mengenai Penanganan Krisis Covid-19 pada (17/4). Mengangkat topik Peran Global Governance dalam Merespon Covid-19, diskusi melalui platform online ini mengundang tiga pembicara yaitu, Muhadi Sugiono, Dr.Diah Kusumaningrum, dan Dr.Muhammad Rum, yang mengkaji berbagai bentuk respon dan sejarah tata kelola global dalam menghadapi berbagai krisis.  Ketiga pembicara tersebut merupakan dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada.

Diawali oleh pemaparan Muhadi Sugiono, mengenai kajian historis respon manusia terhadap pandemi, Muhadi menjelaskan perkembangan respon krisis yang pernah terjadi. “Secara historis, manusia telah dihadapkan dengan berbagai tantangan, salah satunya melalui pandemi. Respon tersebut berkembang seiring dengan adanya perkembangan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Diawali dengan tidak adanya kemampuan apapun yang dimiliki oleh manusia dalam menghadapi wabah di abad ke 8, respon berubah ketika ada negara modern,” jelasnya. Menurutnya, negara modern memungkinkan adanya tindakan berbasis top-down berupa pengawasan, penahanan, sampai dengan menghilangkan hak-hak kebebasan individual untuk merespon pandemi demi melindungi masyarakat dan ekonomi. “Adanya penemuan vaksin dan antibiotik memberikan persepsi yang berbeda, dimana wabah dipandang bukan lagi menjadi ancaman,” tambah Muhadi.

Melalui perkembangan globalisasi yang pesat dalam sejarah hubungan internasional, upaya-upaya untuk melihat persoalan kesehatan bukan lagi hanya permasalahan hidup dan mati, namun memunculkan agenda yang kuat yang memunculkan narasi isu kesehatan sebagai bagian dari isu publik secara global. “Munculnya global health governance memungkinkan adanya kerangka institusional yang multilateral yang memungkinkan adanya moblisasi semua komponen kesehatan yang dapat digunakan untuk menanggulangi berbagai persoalan pandemi,” jelas Muhadi. Hal tersebut ditopang dengan kepercayaan masyarakat internasional terhadap institusi-institusi multilateral.

Namun Muhadi melihat bahwa respon tata kelola global yang ‘terlihat’ mampu mengatasi persoalan pandemi di masa lampau seperti Ebola di Afrika, SARS, Swine Flu dan Flu burung ternyata tidak nampak sama sekali saat Covid-19 ini menyerang. “Respon terhadap Covid-19 cenderung memperlihatkan kebijakan-kebijakan yang nasionalistik, karena kebijakan yang sama bukan berarti kebijakan bersama,” tegas Muhadi. “Inilah, menandai, adanya krisis di dalam tata kelola kesehatan global kita,” tambahnya.

Diskusi dilanjutkan oleh pemaparan dari Diah Kusumaningrum dan Muhammad Rum. Diah Kusumaningrum menekankan berbagai sejarah pandemi umat manusia yang melahirkan tata kelola dunia baru. “Apabila berkaca melalui sejarah, banyak tata kelola yang lahir dari krisis. Krisis perang dunia satu dan dua, perang dingin, krisis 9/11, krisis finansial, tidak dapat dipungkiri melahirkan berbagai mekanisme tata kelola global. Misalnya, tata kelola global dalam bidang finansial muncul sebagai reaksi dari krisis yang terjadi akibat great depression yang memunculkanya Bretton Woods System, akhirnya melahirkan berbagai institusi internasional dalam sektor finansial seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO,” jelas Diah.

“Sepanjang sejarah kita, memperlihatkan pola-pola akan adanya krisis dahulu, baru muncul tata kelola global,” tegas Diah. Menurutnya, Covid-19 bukan merupakan krisis kesehatan publik pertama yang dihadapi oleh umat manusia. “Namun memang, skala Covid-19 yang terjadi di jaman ketika teknologi dan layanan kesehatan sudah sangat maju, pukulan krisis ini terasa sangat berlipat-lipat,” tambah Diah.

Berbicara mengenai Covid-19 dan tata kelola baru yang akan muncul, Diah beragumen bahwa tidak berlebihan juga, untuk mengharapkan adanya tata kelola global baru yang muncul. “Penting untuk ditekankan bahwa masyarakat sipil global tidak boleh gagal untuk mendesakkan agenda tata global baru yang pro bottom-up,” ungkap Diah. Ia melihat bahwa aneka tata global saat ini yang telah didirkan cenderung sangat pro top-down, di mana berbagai institusi multilateral tersebut cenderung digunakan untuk melindungi kepentingan para pemangku politik dan para pemenang perang dunia satu dan dua, pro wall street dan bukan main street. “Ide tata kelola global baru sangat limitless, karena tidak juga terlalu utopis untuk membayangkan tata kelola global yang berbasis kepedulian, yang dapat menguntungkan lebih banyak orang, dan kelompok marjinal,” tambahnya.

Di sisi lain, Muhammad Rum menekankan pembahasan mengenai keterbatasan desain rasional tata kesehatan global. Dengan menganalisis time frame respon Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai institusi internasional global yang mengurusi isu kesehatan, Ia melihat bahwa masih banyak loophole jika melihat respon WHO. “Ketika melihat runtutan respon WHO terlihat bahwa ada tarik menarik kepentingan yang kuat jelas semenjak awal wabah ini terjadi,” jelas Rum. Menurutnya WHO terlampau sangat lambat, karena saat melihat jumlah kasus yang sudah banyak di awal wabah ini muncul, masih terlihat stance WHO yang belum kuat untuk merespon pandemi yang terjadi. “WHO harus mendorong adanya perubahan yang bersifat technicalities yang lebih kuat untuk mendorong ketahanan dalam menghadapi berbagai wabah di masa depan,” tambah Muhammad Rum. (/fdr)