Dampak Pandemi terhadap Industri Perfilman dan Keberlangsungan Festival Film

Yogyakarta, 26 Juli 2020—Badan Semi Otonom Kine Komunikasi UGM menyelenggarakan Live Instagram perdana pada Minggu malam (26/7). Bersama Budi Irawanto, selaku Presiden Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) sekaligus dosen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM sebagai narasumber, membawakan topik diskusi seputar Festival Film di Masa Pandemi. Acara berlangsung pada pukul 19.30-21.00 WIB.

Pandemi COVID-19 berimbas pada hampir semua sektor, tak terkecuali industri kreatif perfilman. Pada tahun 2019, rata-rata produksi film Indonesia sekitar 140 judul per tahun dan meraup pendapatan kurang lebih sekitar 2 Triliun. Namun, akibat pandemi ini kurang lebih ada sekitar 30 film yang ditangguhkan produksinya, beberapa masih memulai shooting pada awal Juli setelah adanya wacana new normal. Bahkan sebagian besar belum berani bergerak karena kecemasan akan penularan jika melakukan shooting yang melibatkan banyak kru dan pemain.

Tentu saja hal ini berimplikasi pada bisnis bioskop yang sangat terpukul akibat situasi yang belum kondusif untuk membuka kembali. Dampak yang dirasakan pada bioskop tersebut lebih terkena pada model eksebisi atau pertunjukan yang konvensional dimana disana mengundang kerumunan orang. Budi menyebutkan, berdasarkan beberapa tafsiran, kerugian industri film Indonesia akibat pandemi mencapai 200 miliar sebulan.

Selain berakibat pada kerugian industri film, Budi menerangkan bahwa situasi pandemi justru meningkatkan pelanggan atau subscriber dari perusahaan over the top seperti Netflix dan GoPlay. Netflix mengalami kenaikan sebesar 15,8 juta pelanggan berbayar dari sekitar Januari sampai Maret, sedangkan GoPlay menyebut bahwa waktu yang dihabiskan meningkat sepuluh kali lipat dibandingkan sebelum pandemi. Distribusi produksi film secara daring ini justru memperoleh momentumnya pada saat pandemi karena berbarengan dengan ditutupnya bioskop dan anjuran stay at home. “Nah ini sebenarnya menarik karena ini menunjukkan bahwa di masa pandemi ini orang justru membutuhkan liburan ya karena mereka harus tinggal di rumah kemudian menghadapi stress situasi yang tidak menentu kapan pandemi akan berakhir,” ungkap Budi.

Terkait dengan keberlangsungan festival film, Budi menanggapi bahwa terdapat beragam respon terhadap festival film di tengah pandemi. Beberapa dari plan yang sudah matang terpaksa harus ditunda bahkan dibatalkan. Namun, ada pula yang tetap menyelenggarakan dengan melakukan sejumlah modifikasi, akan tetapi semua penyelenggara festival tetap menempatkan isu kesehatan sebagai prioritas utama karena mempertimbangkan penonton dan tamu undangan. Secara umum juga sejumlah festival beralih ke platform digital untuk pemutaran atau screen film untuk menghindari kerumunan yang bisa meningkatkan risiko penularan. Selain itu, festival film market juga ada yang menempuh kebijakan-kebijakan yang berbeda, misalnya membatasi hanya penonton lokal atau domestik saja tanpa penonton dari luar negeri.

Kemudian, mereka membuka akses gratis ataupun berbayar untuk menonton film melalui platform digital. Menurut Budi, tentu saja akibat dari perpindahan festival ke platform digital ini adalah festival menjadi tidak terlihat kemegahan atau ke-glamour­-annya serta kehilangan kemeriahan sebagai sebuah perhelatan atau sebuah pesta, seperti prosesi red carpet, meet and greet bintang film dan sutradara, dan standing ovation setelah pertunjukan film. “Festival secara offline/konvensional, kita bisa merasakan atmosfernya, misalnya foto bersama sutradara dan aktor. Hal-hal semacam itu yang mungkin hilang dalam festival film secara online dan engagement penonton secara fisik itu tidak bisa ditemukan dalam festival secara online,” tutur Budi.

Namun, dibalik dampak tersebut, tentu saja ada sisi keuntungan yang didapat dari festival film secara online. Budi menyebutkan, dari sisi penyelenggaraan menjadi lebih tidak ribet, dapat meminimalisasi tim, tiketing lebih mudah, dan dari sisi pembiayaan juga lebih murah karena tidak perlu mengeluarkan budget untuk mendatangkan tamu dari luar negeri dan akomodasinya. Kendati demikian, ada risiko secara teknis yang harus siap, seperti menjamin orang yang menonton tidak men-download film yang ditonton karena mungkin itu copyrighted. (/Wfr)