Demokratisasi Papua: Kebebasan Pers dan Disinformasi

Yogyakarta, 18 Juli 2020—Korps Mahasiswa Politik Pemerintahan (KOMAP) dan DEMA Fisipol UGM menyelenggarakan acara Warung Politik dengan topik diskusi mengenai Kebebasan Pers dan Disinformasi di Papua. Acara kali ini diselenggarakan secara daring via platform zoom dan disiarkan secara langsung melalui channel youtube DEMA Fisipol UGM. Diskusi ini dimoderatori oleh Bayu Krisna, Mahasiswa Politik dan Pemerintahan angkatan 2019. Selain itu, acara ini juga menghadirkan tiga pembicara kondang yaitu Veronika Koman seorang pengacara HAM, Victor Mambor seorang jurnalis senior papua, dan Aprilia Wayar, penulis sekaligus anggota AJI Yogyakarta.

Penyelenggaraan diskusi warung politik sendiri bertujuan untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan pemahaman terkait kondisi yang terjadi di Papua. Untuk mematik diskusi, moderator menyampaikan pertanyaan pertama mengenai kondisi kebebasan pers di papua saat ini. Menjawab pertanyaan tersebut, ketiga pembicara menyampaikan pendapatnya masing-masing dengan poin inti yang saling berkaitan. Menurut viktor, kondisi  pers di papua sendiri telah mengalami perubahan. Dalam hal ini, dapat diakui bahwa terdapat kemudahan dalam pendirian suatu media. Namun, jika berbicara mengenai elemen pers, seperti kekerasan terhadap jurnalis, kasus suap, dan disinformasi masih sering terjadi di Papua. Kesimpulannya, kebebasan pers di Papua memang meningkat secara kuantitas, tapi secara kualitas masih belum meningkat.

Selanjutnya, menyambung pernyataan dari Viktor, narasumber kedua yaitu Aprilia menambahkan bahwa peningkatan tersebut telah terjadi dalam kurun waktu lima hingga sepuluh tahun terakhir. Namun menurutnya, peningkatan tersebut masih belum sesuai dengan ekspetasi yang diharapkan oleh para jurnalis di Papua. Aprilia juga menyampaikan bahwa terdapat beberapa permasalahan klasik dalam kebebasan pers di Papua seperti sulitnya akses media di wilayah terpencil, jumlah jurnalis yang masih sedikit, dan pelabelan negatif bagi para jurnalis lokal di Papua. Menambahkan pernyataan dari kedua narasumber sebelumnya, Veronika Koman menyampaikan bahwa, masalah kebebasan pers juga terjadi pada jurnalis asing. Selain itu, ia juga menambahkan bahwa di Papua telah terjadi masalah misinformasi secara luas. Hal tersebut berimplikasi pada terjadinya disinformasi dan disparitas terkait sejarah Papua. Kondisi tersebut makin diperparah dengan kemunculan akun-akun Bot dan Buzzer yang melakukan propaganda.

Diskusi sore ini juga membahas mengenai isu demokratisasi di papua. Menurut para pembicara, kebebasan pers sendiri memang dapat diibaratkan sebagai pedang bermata dua. Seperti saat ini, semua orang mendapatkan kemudahan untuk membuat media. Namun, kemunculannya yang semakin banyak menyebabkan kesulitan untuk memilah mana yang benar dan mana yang salah. Kondisi ini merupakan konsekuensi yang harus dihadapi suatu negara yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, para pembicara berpesan bahwa masyarakat harus terus belajar untuk memilah informasi yang kredibel dan terpercaya. Hal ini juga mengindikasikan bahwa kebebasan pers tidak hanya menjadi tanggung jawab para jurnalis, namun juga negara dan masyarakat. (/Mdn).