Difussion #19 CFDS: Cyber Bullying Dinormalisasi, Sikap Kemanusiaan Kita Harus Bergerak

Yogyakarta, 18 Februari 2020—Difussion rutin diadakan CFDS guna merespon fenomena aktual yang berkaitan dengan permasalahan teknologi dan masyarakat digital. Pada Selasa lalu, acara tersebut diselenggarakan di Antologi Collaborative Space. Perdana Karim (Research Assistant CFDS) dan Kurnia Yohana Yulianti (Dosen Fakultas Psikologi UGM) berperan sebagai pembicara dalam acara tersebut.

Cyber bullying memang sudah dinormalisasi. Akibatnya, orang tidak akan menganggapnya sebagai masalah,” kata Perdana. Fenomena cyber bullying memang sering terjadi di internet, terutama media sosial. Perdana mengungkapkan, kehidupan maya membuat para penggunanya merasa bebas melakukan segala hal yang mereka suka, meskipun itu ternyata merugikan orang lain. “Saat ini, penduduk Indonesia sudah mencapai 264 juta jiwa, dan 171 juta di antaranya adalah pengguna internet,” jelas Perdana. Menurut Perdana, banyaknya jumlah tersebut tak sebanding dengan tingkat kesiapan masyarakat untuk menggunakan internet secara arif.

Internet memang membuat budaya nyata digantikan oleh budaya maya yang sifatnya kompleks dan abstrak. Dari situ, kesadaran kita tentang nilai-nilai moral akan mengalami pergeseran dan pembentukan ulang. Dalam proses pergeseran dan pembentukan ulang itu, orang seringkali tak sadar saat menyakiti orang lain. “Sebenarnya ini (cyber bullying) adalah permasalahan moral. Semakin banyak orang yang melakukannya, tanggung jawab moral orang-orang di sekitarnya akan terasa semakin longgar dan mereka akan merasa biasa-biasa saja melakukannya,” lanjut Perdana.

Perlu kita pahami bahwa fenomena cyber bullying mempunyai perbedaan dengan bullying pada umumnya. Pada peristiwa bullying, perlakuan terhadap korban dilakukan secara langsung. Sementara pada cyber bullying, hal itu tidak terjadi. “Karena perlakuan yang tidak langsung ini, kita tak bisa mengetahui secara pasti apakah orang yang kita cemooh (jika belum hendak disebut sebagai korban bully) merasa bermasalah atau tidak dengan perlakuan kita,” ungkap Perdana.

Perdana menerangkan bahwa salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menyebut suatu fenomena sebagai cyber bullying adalah jumlah pelaku. “Kalau di Instagram, jumlah pelaku mungkin bisa kita lihat dari jumlah orang yang memberi komentar buruk pada postingan seseorang,” lanjutnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Perdana menerangkan, jumlah pelaku menentukan seberapa besar pengaruh psikologis seseorang ketika menerima cemoohan, perlakuan buruk, hingga bullying di dunia maya. Sementara untuk semakin yakin menyebut sebuah peristiwa sebagai cyber bullying, kita bisa membayangkan hal yang sama terjadi di dunia nyata.

“Kalau ada tiga ratus orang mencemooh postingan Instagram seseorang, dan itu kita visualisasikan di dunia nyata, kita tentu tak bisa membayangkan bagaimana respon si penerima. Dari situ, kita akan tahu masalahnya,” kata Perdana. Dari contoh yang diungkapkan Perdana, dalam menanggapi suatu peristiwa cyber bullying atau bullying, kita hendaknya berangkat dari perspektif korban. Dari situ, rasa kepedulian dan kemanusiaan kita bakal muncul.

Adapun kepada audiens, Kurnia menjelaskan fenomena cyber bullying dari disiplin Ilmu Psikologi. Menurut Kurnia, korban bullying seringkali justru orang-orang yang memiliki social skill dan self-esteem yang tinggi. “Di sini, tugas para psikolog adalah menemukan keseimbangan antara tingginya social skill dan self-esteem dengan kesehatan jiwa mereka,” jelas Kurnia. Banyaknya kasus cyber bullying di dunia maya memang tak boleh dianggap remeh. Seringkali, yang menjadi korban dari peristiwa tersebut adalah tokoh-tokoh publik atau orang dengan massa pengikut yang besar.

Fenomena cyber bullying salah satunya menimpa Lucinta Luna, salah satu aktris dalam negeri yang tengah banyak dibicarakan masyarakat akhir-akhir ini. Beredarnya rumor bahwa ia adalah seorang laki-laki membuatnya memperoleh cemoohan dari banyak pengikutnya di media sosial. Karena perlakuan tersebut, Lucinta sempat mengalami depresi dan mulai menggunakan narkoba.

Dari contoh tersebut, wajib belaka bagi kita untuk mempertimbangkan kembali segala sesuatu yang hendak kita lakukan di dunia maya, terutama media sosial. Obrolan dan cemoohan warung kopi yang biasa bagi kita bisa jadi adalah masalah besar yang membuat seseorang merasa tertekan secara psikologis. Dari situ, tak ada pilihan bagi mereka selain menerima, bertingkah seakan semua sedang baik-baik saja, atau yang terburuk: menyakiti diri mereka sendiri. (/Snr)