Difussion #22 CfDS UGM : Teknologi, Privasi Data, dan Infodemic di Tengah COVID-19

Yogyakarta, 17 April 2020—Center for Digital Society (CfDS) UGM kembali menggelar diskusi rutin mereka bertajuk Digital Future Discussion (Difussion) #22 Jumat (17/4) sore. Diskusi yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube CfDS UGM tersebut mengangkat tema Covid-19; Teknologi, Privasi Data, dan Invodemic. Difussion #22 menghadirkan tiga pembicara yaitu Janitra Haryanto selaku Project Officer of Research CfDS, juga dua Research Assistants CfDS yaitu Fajar Cahyono dan Dhalia Ndaru, H. R. Diskusi dipandu oleh Ruth Tarullyana Simanjuntak selaku Staff of Event & Social Media CfDS dan berlangsung pukul 15.30 sampai 17.00.

Pembicara pertama yaitu Janitra Haryanto mengangkat topik penggunaan teknologi dalam menahan laju pandemi COVID-19. Janitra menjelaskan bagaimana negara-negara di Asia Timur seperti Korea Selatan, Tiongkok, dan Singapura menerapkan teknologi dalam kebijakan publik untuk meredam penyebaran COVID-19. Ketiga negara tersebut memiliki performa yang baik dalam menghadapi pandemi ini. Berbagai kebijakan di Korea Selatan antara lain membuat aplikasi pelacak, menyediakan situs informasi lokasi yang pernah dikunjungi penyitas, dan menyediakan situs informasi bagi lokasi terdampak COVID-19.

Sedangkan di Tiongkok, mereka melacak potensi penularan dengan memanfaatkan teknologi lewat WeChat, rekaman e-wallet, CCTV, hingga drone. “Tiongkok sangat berhati-hati, hingga ada penjagaan oleh pihak berwenang seperti polisi dilengkapi helm pintar yang dapat mendeteksi subjek di tempat umum,” tuturnya. Sedangkan di Singapura, mereka juga menggunakan aplikasi buatan pemerintah untuk melakukan pelacakan dan memberikan kesempatan bagi perusahaan swasta untuk mengembangkannya. Di sisi lain penggunaan teknologi ini dapat menimbulkan ancaman keamanan data pribadi terutama di negara-negara yang otoriter.

Fajar Cahyono, sebagai pembicara selanjutnya menjelaskan tentang keterbukaan Informasi Publik Mengenai Pasien Positif COVID-19. Data pasien menurut UU tidak boleh disebarkan, sehingga perlu diperhatikan bagaimana cara melindungi pasien ketika informasi dibuka. Di Indonesia sendiri, terdapat potensi pengucilan kepada penyitas jika data terkait nama dan alamat disebar. Fajar menjelaskan, “karena kondisi darurat dan skala penyebarannya tinggi, maka informasi bisa dibuka dengan tetap memerhatikan hal-hal yang layak dibuka dan tidak. Seperti nama dan kecamatan yang tidak terlalu dibutuhkan”. Adapun riwayat perjalanan menjadi hal terpenting untuk disebarkan, agar masyarakat terlindungi dan dapat mengantisipasi dengan baik.

Diskusi dilanjutkan oleh pembicara ketiga, yaitu Dhalia Ndaru, H. R. yang mengangkat tentang terjadinya panik selama pandemi. Dhalia menjelaskan bagaimana panic buying terjadi di beberapa negara seperti Amerika dan Indonesia sendiri. Panic buying dijelaskan dengan konsep stimulus-respon, yaitu bagaimana manusia merespon kabar COVID-19, dan merupakan bagian dari kecemasan. Berkaitan dengan infodemik sendiri, yaitu banyaknya arus informasi dengan interupsi yang mempersulit identifikasi masalah, dijelaskan dapat menyebabkan persebaran misinformasi, disinformasi, dan rumor. Adapun budaya serba update yang dimiliki masyarakat dapat memicu panik itu sendiri. “Lihat teman update lagi belanja, membuat kita merasa harus melakukan hal yang sama juga ditambah rasa panik,” terang Dhalia. Untuk mengontrol panic buying sendiri, kita dapat membatasi pencarian informasi mengenai COVID-19 sesuai yang kita butuhkan saja dan memerhatikan kredibilitas sumber. Dihimbau pula untuk mematuhi himbauan pemerintah dan bijak dalam menggunakan media sosial.

Difussion #22 ditutup dengan sesi tanya jawab yang dipandu oleh moderator. Pertanyaan dikumpulkan dari komentar-komentar di kolom live chat YouTube, kemudian dijawab oleh pembicara terkait. Rekaman sepanjang diskusi kemudian diunggah ke kanal YouTube CfDS, sehingga dapat disaksikan kembali. (/tr)