Dipcool #1: Mengenal Lebih Jauh Pemikiran Adam Smith

Yogyakarta, 10 Maret 2020—Dema Fisipol UGM Kabinet Basudara mengadakan Dipcool #1 atau Dema Fisipol School yang pertama dengan diskusi mengenai Pemikiran Sosial-Politik dan Ekonomi Adam Smith pada tanggal Selasa lalu, tepatnya pada pukul 15.30. Diskusi dengan pembicara Drs. Muhadi Sugiono, M.A., selaku dosen Ilmu Hubungan Internasional dan moderator Fadhil Haidar diselenggarakan di ruang 203 gedung BA Fisipol UGM. Diskusi dihadiri oleh lebih kurang 15 orang dari berbagai departemen di Fisipol, meskipun sedikit, diskusi berlangsung dengan lancar dan hidup.

Pak Muhadi nampak begitu antusias dapat berdiskusi mengenai Adam Smith, beliau mengaku sudah cukup lama tidak berkutat dengan Adam Smith. Pak Muhadi sudah memiliki ketertarikan sejak lama, beliau sudah mulai menulis topik sistem moral kapitalisme sejak tahun 1995/1996. Beliau menampilkan kembali pemikirannya yang dilihat dalam pemikiran Adam Smith yang menurut beliau menggambarkan sebuah sistem moral dalam kapitalisme. Diskusi dimulai dengan menampilkan gambar Moskow yang dijelaskan bahwa Adam Smith tidak pernah ke Moskow tetapi pemikirannya sampai sana. Pada tahun 1994, 5 tahun setelah runtuhnya Uni Soviet, ada sebuah buku yang diterbitkan dengan judul Adam Smith goes to Moscow yang berisi cerita imajiner melalui dialog antara dua orang, yakni kepala negara imajiner di salah satu negara bekas jajahan Uni Soviet dan seorang konsultan ekonomi yang berusaha meyakinkan perlunya negara-negara di bekas wilayah jajahan Uni Soviet itu untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan yang berbasis liberalisasi dan perdagangan bebas.

Ada beberapa hal yang disampaikan Pak Muhadi berangkat dari pemikiran Adam Smith mengenai munculnya kapitalisme. “Yang pertama adalah ada kecenderungan untuk terlalu menggeneralisasi pemikiran Adam Smith, yakni pemikiran Adam Smith adalah pemikiran yang menjadi basis bagi perdagangan bebas, padahal sebenarnya tidak. Basis dari pemikiran pedagang bebas terletak pada David Ricardo, adalah yang berbicara tentang comparative advantage, bahkan kalau kita lihat di banyak literatur, banyak kritik yang menganggap Adam Smith itu tidak canggih untuk menerjemahkan cara berpikirnya tentang self-interest ke dalam sebuah sistem kapitalis. Ada sebuah kesalahan besar melihat Adam Smith sebagai komponen dari perdagangan bebas, Adam Smith tidak pernah berbicara tentang comparative advantage.

Kedua, Adam Smith cenderung dikadang dengan cara berpikir yang sangat individualis, yang sangat berbasis pada kepentingan diri sendiri, sehingga kepentingan diri sendiri itulah yang dicondongkan oleh Adam Smith, tetapi kita harus sadar bahwa Adam Smith memang pernah membuat pernyataan yang sering kali dikutip dan mungkin ini juga dipakai dan disalahgunakan untuk menunjukkan bahwa Adam Smith basisnya orang yang memanfaatkan bukan karena kebaikan tetapi untuk kepentingan dia sendiri. Itu seringkali dijadikan basis untuk menggambarkan bagaimana Adam Smith sangat percaya bahwa interaksi sosial itu sebaiknya dibangun dengan konsep individual dan berbasis pada kepentingan individual. Orang mungkin menyalahartikan cara berpikirnya, Adam Smith dianggap menggunakan pikiran itu karena dia mewarisi cara berpikir gurunya, yang bernama Bernard Mandeville. Ia menulis sebuah buku yg berjudul The Feeble of the Bees yang bercerita tentang bagaimana perilaku invidualis kemudian menghasilkan sebuah sistem yang baik,” jelas Pak Muhadi dengan sangat detail.

Dari pembahasan Pak Muhadi, maka Adam Smith dianggap sebagai tokoh yg memperkenalkan sistem yang sangat individualistik karena dia dianggap sebagai orang yang memperkenalkan mekanisme dimana hanya dengan cara berpikir menggunakan sistem individualistik itu maka  kemakmuran akan tercapai. Namun, jika berpikir tentang kebijakan publik, maka akan ada pembatasan-pembatasan individu.

“Kita melihat Adam Smith sebagai orang yang berpikir dengan cara modern untuk membangun asumsi tentang manusia yang tidak harus dijelaskan dengan nuansa religius, yang kemudian dihasilkan adalah seluruh sistem kapitalisme. Sebenarnya berorientasi pada bagaimana menjelaskan orang yang bijak itu seperti apa. Di dalam tulisan-tulisannya Adam Smith berangkat dengan asumsi bahwa secara alamiah manusia didorong oleh dua alasan, pertama didorong oleh kebutuhan untuk merealisasi self-happiness, tetapi juga didorong oleh keinginannya untuk melihat kebahagiaan orang lain karena jika tidak akan terjebak dalam situasi yang sangat objektif. Jadi, orang yg bijak, berdasarkan pada kemampuannya unt merealisasi self-happiness dan happiness of others ada tiga karakter, yakni prudence, beneficence, and justice,” tambah Pak Muhadi.

Setelah pemaparan yang dibawakan Pak Muhadi usai, diskusi berlanjut secara interaktif, beberapa pertanyaan audiens mengenai pemikiran Adam Smith diajukan dan dijawab oleh Pak Muhadi dengan baik. Melalui diskusi ini, diharapkan partisipan dapat belajar mengenal pemikiran filsuf Adam Smith dari segi sosial, ekonomi, maupun politik. Diskusi berakhir sekitar pukul 17.30. (/Wfr)