Diskon #2 Membahas Relevansi Kartu Pra Kerja di Tengah Pandemi

Yogyakarta, 30 Mei 2020—Keluarga Mahasiswa Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (KAPSTRA) FISIPOL UGM kembali mengadakan Diskon #2 pada Jumat (29/5). Diskusi daring kali ini bertajuk “Kartu Pra Kerja dalam Kerangka Jaring Pengaman Sosial”. Dipandu oleh Fernandito Dikky, mahasiswa PSdK 2016, diskusi ini menghadirkan dua orang pembicara. Pembicara pertama adalah Tauchid Komara Yudha, peneliti kebijakan sosial di UGM, alumni Korea Development Institute 2019—2020 dan alumni PSdK 2013. Pembicara kedua yaitu Hafidz Arfandi, associate researcher di Indonesia For Global Justice, yang juga merupakan alumni PSdK 2009.

Yudha memulai diskusi dengan menjelaskan latar belakang sosio-ekonomi pengimplementasian Kartu Pra Kerja. Di negara maju, kartu pra kerja muncul dalam konteks pasar kerja fleksibel. Di Skandinavia misalnya, Kartu Pra Kerja digunakan sebagai kompensasi untuk warga negara yang mengalami putus hubungan kerja dan diberikan sampai mereka mendapat kerja. Program ini bisa diakses sampai dengan jangka waktu setahun dengan syarat penerima manfaat harus mengikuti serangkain pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar.  “Ide dibalik Kartu Pra Kerja bukan untuk merespon krisis tapi pasar kerja yang fleksibel”, tekan Yudho.

Kemudian Yudho melanjutkan relevansi Kartu Pra Kerja dengan social safety nets (SSN) atau jaring pengaman sosial. Yudha menyebutkan, salah satu  fungsi utama SSN yaitu melindungi kelompok rentan agar tidak jatuh pada kemiskinan. Hemat Yudho, idealnya SSN diperuntukkan bagi mereka yang masuk dalam kategori masyarakat rentan, karena masyarakat yang miskin sudah mendapat bantuan sosial dari pemerintah. Meskipun begitu, pada kondisi normal pun pemerintah seringkali sulit untuk mengidentifikasi data penerima manfaat. Banyak faktor yang menyebabkan, salah satunya karena data ini tidak selalu diperbaruhi. “Selama pandemi, orang rentan itu fluktuatif dan juga sering terjadi salah sasaran dalam pembagian bantuan sosial”, ungkap Yudho.

Yudho juga menyebutkan perbedaan krisis mengakibatkan solusi yang ditawarkan berbeda. Pada krisis ekonomi tahun 1998 dan 2008, sektor informal masih cukup bisa memainkan peranan penting dalam perekonomian nasional. Sedangkan, krisis yang terjadi pada 2020 mengharuskan masyarakat untuk tidak keluar rumah. Bagi Yudha, selama krisis di tahun 2020 ini bantuan-bantuan yang berkaitan dengan cash transfer lebih diperlukan ketimbang pelatihan-pelatihan pra kerja. “Kartu Pra Kerja kurang pas jika diterapkan dalam kondisi COVID-19, karena tidak ada jaminan pelatihan yang ditawarkan dapat memastikan mereka kembali masuk ke pasar kerja,” imbuh Yudha.

Selain itu, Yudha juga mengungkapkan bahwa perlunya pertimbangan mengenai bentuk jaminan sosial yang akan diberikan, misal dalam bentuk personal package atau family package. “Saya kalau jadi policy maker akan cenderung memberi bantuan berupa family package misal bantuan makan atau kebutuhan khusus selama pandemi, karena lebih hemat dari cash transfer perorangan,” tutur Yudha. Argumennya ini karena di Indonesia, keluarga memiliki peranan penting dalam resiko sosial sehingga bantuan yang menyasar pada pemberdayaan keluarga memiliki fungsi lebih optimal.

Dalam skema presentasinya, Hafidz menjelaskan ada dua konsep penting dalam Kartu Pra Kerja, yaitu unemployment benefit dan skill development fund. Unemployment benefit diberikan pemerintah pada masyarakat yang menganggur dengan bentuk insentif cash transfer agar mampu mempertahankan hajat hidup. Selain itu unemployment benefit juga berfungsi mengakses pelatihan untuk terlibat dalam pasar kerja. Sedangkan yang dimaksud dengan skill development fund adalah bentuk pelatihan yang tidak hanya menyasar calon pekerja baru tapi juga mereka yang sudah bekerja cukup lama, tetapi terjadi pergeseran dalam dunia kerja. Sehingga diperlukan wadah atau skema untuk melatih ulang kemampuan, disinilah pelatihan-pelatihan dibentuk. “Unemployment benefit dan skill development fund adalah dua hal pokok dalam Kartu Pra Kerja”, sebut Hafidz.

Hafidz menceritakan bahwa pembahasan Kartu Pra Kerja sudah dimulai sejak Oktober—November tahun lalu. Selama pandemi, jumlah anggaran dan peserta Kartu Pra Kerja ditambah. Dengan model seperti ini, banyak yang melihat bahwa Kartu Pra Kerja merupakan bantuan sosial. Bagi Hafidz, dari segi sumber daya manusia, penerapan Kartu Pra Kerja dinilai gagal karena tata kelolanya yang tidak melibatkan pelaku usaha. Selain itu, jika dilihat sebagai jaminan sosial juga aneh, karena insentifnya diberikan secara bersyarat dan sasarannya tidak jelas. “Untuk menyebutkan Kartu Pra Kerja sebagai instrumen jaring pengaman sosial selama pandemi, maka perlu penjelasan lebih detail dari pihak penyelenggaranya”, timpal Hafidz.

Senada dengan Yudha, Hafidz menuturkan bahwa Kartu Pra Kerja tidak cocok menjadi jaring pengaman sosial. Di tengah pandemi, jaring pengaman sosial yang tepat adalah pemberian cash transfer tanpa syarat. Hemat Hafidz, kebutuhan jaring pengaman sosial adalah mempertahankan daya beli baik individu ataupun masyarakat. Maka dari itu Hafidz menyarankan agar sistem Kartu Pra Kerja diperbaiki, apalagi di tengah kondisi COVID-19 dimana infrastruktur pasca yang diperlukan belum siap. “Baiknya kita tunda pelatihan tersebut sampai pandemi ini selesai,” pungkas Hafidz. (/anf)