Yogyakarta, 1 November 2024—Akibat kemarau panjang, sejumlah daerah mengalami kekeringan parah hingga Daerah Istimewa Yogyakarta menyandang status siaga darurat bencana kekeringan. Isu ini dibahas dalam diskusi buku berjudul “Ngelep, Ngrumat, Niteni: Ekologi Politik Merawat Air dan Ruang Hidup di Jawa Bagian Tengah” bersama beberapa pakar politik dan lingkungan pada Jumat (1/11) di Departemen Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM.
Jogja sebagai Kota Wisata menyimpan berbagai persoalan lingkungan, salah satunya kekeringan. Selain diakibatkan kemarau panjang, bencana ini juga terjadi secara struktural. Disampaikan oleh Yesaya Sandang, penulis sekaligus peneliti di Universitas Kristen
Satya Wacana, Jogja menghadapi persoalan penggunaan air untuk pariwisata pada tahun 2014. “Sektor pariwisata itu ‘haus air’, kita seringkali melihat hotel dan pariwisata itu baik-baik saja. Tapi dalam kenyataannya, dalam sektor kepariwisataan kebutuhan airnya cukup tinggi,” ucap Yesaya.
Kala itu, gerakan masif masyarakat menggunakan tagar #JogjaAsad dan #JogjaDidol menimbulkan ledakan luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memprotes konsumsi air perhotelan dan sektor pariwisata lainnya. Yesaya mengungkapkan data yang menyebut penggunaan air oleh satu wisatawan bisa mencapai 84-2.000 liter per hari. Jumlah tersebut belum ditambah dengan penggunaan air untuk mengelola akomodasi dalam bisnis perhotelan tersebut.
“Belum lagi aspek-aspek tidak langsung, bahan bakar, nabati, itu bisa rentang 2.000-3000 liter. Pemakaian air untuk rekreasi itu bukan hak asasi manusia,” jelas Yesaya. Total 725 hotel di Jogja bisa mengonsumsi 6 ribu liter per hari, setara dengan konsumsi air oleh 50 ribu rumah tangga. Jumlah yang sangat fantastis ini diperkirakan akan terus naik akibat ambisi besar kepariwisataan.
Sayangnya, baik masyarakat maupun pemerintah belum banyak menyoroti ancaman isu air ini. Suraya Affif, Dosen Antropologi Universitas Indonesia menyampaikan, hanya segelintir orang yang bisa merespon terhadap isu air di Jogja. Menurutnya, masyarakat saat ini membutuhkan aliansi untuk bisa menyuarakan keresahannya. Apalagi isu perhotelan menyangkut sektor utama dalam penggerak perekonomian Jogja.
“Ini ada fenomena, kalau tidak viral tidak ada keadilan. Ini yang kemudian mem-pressure pemerintah. Nggak mungkin pemerintah bertindak kalau nggak ada tekanan,” terang Suraya. Pemerintah dalam relasi power akan menilai sebuah isu penting atau tidak berdasarkan mayoritas. Selama isu itu tidak disorot, maka nihil tindakan penanganan dari pemerintah.
Suraya melanjutkan, masyarakat seringkali dibayang-bayangi oleh narasi kemajuan dan modernitas. Hal inilah juga yang menyebabkan respon dan perlawanan masyarakat sulit ditumbuhkan. Pembangunan infrastruktur sampai ambisi kepariwisataan diklaim sebagai bentuk dari kemajuan negara, hingga melupakan aspek-aspek lingkungan yang perlu dicermati.
Sejalan dengan itu, Dosen Ilmu Hubungan Internasional, Marwah menggambarkan bagaimana konsep air publik perlu dijalankan. Ia menyebut krisis air bersih di Jakarta yang juga menimbulkan berbagai respon masyarakat. Ketika isu tersebut sudah sampai dalam ranah diskusi publik, belum ada kerangka kerja untuk menciptakan transparansi air publik. “Isu air ini isu bersama, tapi manifestasinya bergantung pada daerah masing-masing. Infrastruktur ini perlu diperhatikan, misalnya dengan tidak hanya mengandalkan air PDAM,” tutur Marwah.
Kebijakan air perlu dilakukan untuk mengatur konsumsi air di berbagai sektor dengan mengutamakan kebutuhan masyarakat. Sektor-sektor industri dan pariwisata perlu bijak dalam menggunakan air untuk mengelola bisnis. Amalinda Savirani, Dosen DPP UGM berharap, diskusi dan peluncuran buku “Ngelep, Ngrumat, Niteni: Ekologi Politik Merawat Air dan Ruang Hidup di Jawa Bagian Tengah” mampu membawa urgensi isu air ke tahap yang lebih luas. Acara ini sekaligus menjadi bentuk kontribusi Fisipol UGM terhadap implementasi Sustainable Development Goals ke-6 yaitu Air Bersih dan Sanitasi Layak. (/tsy)