Diskusi Map Corner-Klub MKP: Menyoroti Cara Negara Memandang Perempuan Lewat RUU Ketahanan Keluarga

Yogyakarta, 10 Maret 2020—“RUU Ketahanan Keluarga adalah kericuhan lama yang kembali menarik perhatian masyarakat. Masalah sejenis sudah terjadi di bawah tirani Orde Baru,” Kata Tia Pamungkas (Dosen Fisipol UGM) dalam Diskusi Map Corner-Klub MKP bertajuk “RUU Ketahanan Keluarga dan Formalisme Domestifikasi Perempuan”.

Bersama Anastasia Sukiratnasari (Aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta), Tia berbagi pandangan soal kemunculan RUU Ketahanan Keluarga (selanjutnya disebut RKK) di Program Legisnasi Nasional (Prolegnas) yang menuai pro-kontra baru-baru ini. Acara diadakan di Lobby Magister Administrasi Publik Fisipol UGM Unit II, Sekip, pada Selasa sore (10/03/20) lalu. Tia mengungkapkan, kemunculan RKK pada Prolegnas di DPR adalah tamparan keras bagi pergerakan perempuan yang keberadaannya telah diusahakan sejak pemusnahan oleh Orde Baru selama 32 tahun. Tia menyatakan, pasal-pasal dalam RKK menempatkan perempuan secara diskriminatif.

Di dalam RKK pula, negara berusaha mencampuri urusan privat warganya dan mereduksi peran perempuan. Dalam pasal 25, misalnya, RKK membedakan peran suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga. Istri diharuskan tetap berada di rumah untuk merawat anak, sementara suami bertugas untuk mencari nafkah. Melaui aturan semacam itu, RKK dinilai memformalkan domestifikasi perempuan (istri) dan melanggengkan budaya patriarki.

“Bisa dibilang, ini (RKK) menjadi bukti bahwa pemerintah sangat berpandangan misoginis,” Kata Tia. Menurut Tia, kemunculan RKK ialah bentuk degradasi dari usaha mendorong kesetaraan gender yang selama ini diupayakan mati-matian. Sementara di sisi lain, kemunculan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebagai regulasi yang menjamin hak-hak perempuan justru diabaikan.

Di sisi lain, Tia mengungkapkan bahwa RKK adalah usaha pengaturan moral warga negara yang sia-sia dan membuang waktu. Selain membagi peran antara perempuan dan laki-laki, RKK juga mengatur banyak hal privat lain: otoritas tubuh perempuan, aktivitas seksual suami-istri, hingga komposisi anggota keluarga. Produk regulasi semacam ini telah ada di Jerman pada pertengahan abad ke 19.

“Melalui badan bernama Stasi, Pemerintah Jerman merekrut banyak pegawai sipil yang tugas utamanya menjadi polisi moral bagi warga negara,” Kata Tia. Hal yang paling menjadi sorotan Tia dalam RKK adalah pengaturan terhadap otoritas tubuh perempuan. Bahwa dalam menjalani kehidupan sehari-hari, perempuan harus memenuhi kepatutan moral tertentu.

“Dengan keberadaan RKK, kepatutan moral warga negara akan ditentukan oleh institusi bernama Badan Ketahanan Keluarga. Persiapan legalisasi badan tersebut menjadi alasan pemerintah untuk menunda-nunda pengesahan RUU-PKS,” Tia menerangkan. Sejalan dengan Tia, Anastasia mengungkapkan bahwa standar moralitas adalah urusan yang paling menjadi perhatian pemerintah dalam RKK. Menurut Anastasia, melalui RKK, pemerintah hendak menjadikan moralitas dan dogma agama sebagai basis dalam menghadapi krisis.

“Padahal, hal-hal yang berkaitan dengan moralitas tak lagi perlu dikodifikasikan secara hukum karena akan mengganggu kepentingan umum,” Kata Anastasia. Menurut Anastasia, dalam kehidupan bernegara, hukum dan moralitas memiliki wilayah masing-masing dalam mengatur perilaku masyarakat. Ada hal-hal yang telah diatur oleh hukum namun moral tak ikut campur, begitu juga sebaliknya. Anastasia mengungkapkan, penggunaan moralitas untuk melegitimasi hukum hanya akan digunakan para penguasa untuk memenuhi kepentingan dan libido politik.

“Padahal, moralitas dan dogma agama punya konsekuensi lebih besar ketimbang hukum karena berkaitan dengan spiritualitas,” Anastasia menambahkan. Keberadaan RKK menjadi bukti bahwa di masa-masa ini, pemerintah memiliki bayangan paripurna tentang keteraturan hidup warga negara. Untuk mewujudkan bayangan itu, dibuatlah berbagai perangkat hukum yang mengatur urusan-urusan paling privat sekalipun. Dalam hal ini, Anastasia mengungkapkan, negara tak boleh menganggap bahwa semua warga negara sedang “sakit” dan “bermasalah”. Perangkat hukum yang tepat guna dan merata, bagaimanapun, ialah solusi terbaik buat menghadapi semuanya. (/Snr)