Dosen Fisipol UGM Beri Literasi Film Kepada Guru-Guru Sejarah SMA DIY

Yogyakarta, 18 Juli 2020─Dua dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Youth Studies Centre Fisipol UGM bekerja sama dengan Majelis Guru Mata Pelajaran (MGMP) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyelenggarakan diskusi daring bertajuk “Film dan Pendidikan (Penggunaan Film Sebagai Media Pembelajaran Sejarah)”. Diskusi melalui live YouTube Youth Studies Centre ini dihadiri oleh 18 peserta yang merupakan guru-guru sekolah menengah atas (SMA) mata pelajaran Sejarah di DIY.

Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, Gilang Desti Parahita, menjadi salah satu pemateri yang menyampaikan tentang literasi film. Selain itu, Ketua MGMP Sejarah SMA DIY, Sariyana juga memaparkan tentang implementasi media audiovisual sebagai media pembelajaran sejarah. Sedangkan Dosen Departemen Sosiologi Fisipol UGM, Hakimul Ikhwan, menjadi moderator dalam diskusi ini.

Pemateri pertama, Sariyana memaparkan materi tentang implementasi media audiovisual sebagai media pembelajaran sejarah di SMA. Sariyana menilai bahwa film efektif, efisien, dan mudah dipahami sebagai media pembelajaran. Dia juga mengatakan bahwa film menjadi media favorit peserta didik dalam mempelajari sejarah. Namun, menurutnya, guru harus berperan sebagai pendamping siswa ketika menonton film sejarah. “Penggunaan media pembelajaran film membutuhkan pendamping sebagai jembatan penjelas untuk mencapai tujuan pembelajaran,” kata Sariyana.

Sariyana mengatakan, ada dua jenis film sebagai media pembelajaran sejarah, yakni film dokumenter dan dokudrama. Menurut dia, guru harus hati-hati dalam memanfaatkan media film dokudrama sebagai media pembelajaran. Sebab, terkadang film jenis ini mengandung unsur politik, ekonomi, dan menunjukkan adegan kekerasan maupun pornografi. “Guru perlu berhati-hati dalam memahami film dokudrama yang dibuat oleh pihak swasta,” tutur Sariyana.

“Pembelajaran sejarah menggunakan media film sangat banyak keuntungannya,” kata Sariyana. Menurut dia, media film mempermudah dalam menjelaskan peristiwa, dapat diulang-ulang, menanamkan sikap kritis dalam memahami peristiwa sejarah, menumbuhkan semangat belajar dan imajinasi, serta meningkatkan hasil belajar siswa. Namun, guru perlu mengatur strategi agar dapat memanfaatkan waktu pembelajaran yang singkat secara efektif dalam menggunakan film sebagai metode pembelajaran.

Selanjutnya, Gilang menyambung diskusi dengan memaparkan materi berjudul “Literasi Film (Sejarah) untuk Pendidikan Menengah”. Menurut Gilang, literasi film adalah kemampuan untuk memahami bahasa film. Gilang mengatakan bahwa literasi film merupakan pengembangan dari literasi media dan informasi. Menurut dia, penonton film bisa menghubungkan film dengan diri sendiri, produk budaya populer lain, simbol-simbol budaya, dan struktur ekonomi politik yang lebih luas. “Apabila seseorang memiliki literasi film, ia dapat menjadi penonton aktif yang dapat mengkritisi film dengan melihat sisi estetik dan substantif,” tutur Gilang.

Gilang menambahkan, literasi film menggabungkan gagasan tentang pentingnya film sebagai model pembelajaran di dalam kelas sekaligus mempertajam cara berpikir siswa. Melalui film, siswa dapat mengidentifikasi masalah serta mencari tahu faktor penyebabnya. Namun, menurutnya, siswa membutuhkan kemampuan yang lebih tinggi ketika menyimak film-film populer, karena banyak pesan tersembunyi di dalam film tersebut. “Ada efek dramatis yang menyebabkan kita harus memiliki kemampuan atau daya berpikir abstrak,” kata Gilang.

Gilang mengatakan, setidaknya ada empat manfaat literasi film. Pertama, edukasi, yang berarti siswa mendapatkan informasi dan mengalami hal baru. Kedua, dekonstruksi yang artinya mempertanyakan kembali nilai-nilai, pandangan, keyakinan, kebiasaan yang sudah dianggap lumrah. Ketiga, memahami dunia, maksudnya merenungkan tentang kehidupan dan mendorong empati. Keempat, kepekaan seni yang mendorong mengapresiasi seni dan berkreasi. “Literasi film tidak hanya digunakan untuk mengkritisi tapi juga memproduksi film yang baru,” tutur Gilang.

Gilang mendorong peserta untuk menggunakan film sebagai media pembelajaran di dalam kelas. Ada beberapa tahapan pembelajaran menggunakan media film, yakni memilih film, memberi pengantar dan menonton, serta diskusi. Guru juga dapat memutarkan film secara utuh maupun sepatah-patah menyesuaikan jam pelajaran yang tersedia. Gilang menyarankan agar para guru sebaiknya membagikan lembar panduan diskusi sebelum penayangan film. Menurut Gilang, hubungan guru dengan murid harus setara ketika menonton film. Sebab film bisa membantu siswa-siswi lebih terlibat dan kritis. “Bukan guru yang memberi jawaban, tapi siswa yang mencari jawabannya sendiri,” pungkas Gilang.

Diskusi diakhiri dengan sesi tanya-jawab. Salah seorang peserta, Hery Setyanto, menanyakan tentang cara menanamkan konsep berpikir kritis dalam pembelajaran sejarah dengan menggunakan media film. Sariyana menjawab bahwa guru bisa menyiapkan pertanyaan-pertanyaan pada siswa sebelum menonton film. Sependapat dengan Sariyana, Gilang menilai bahwa hal tersebut akan menjadikan siswa aktif mencari jawaban selama menonton film. “Sehingga tidak hanya menonton dan mendengar film saja, tapi juga mengajak siswa berpikir secara kognitif,” pungkas Gilang.(/NIF)