Environment Talk Ajisaka: Mengurangi Sampah, Menghidupi Bumi

Yogyakarta, 25 Oktober 2019—Rangkaian Kompetisi Ajisaka yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM secara resmi dibuka pada 25 Oktober lalu.

Sejak tahun 2015, Ajisaka menjadi ajang bergengsi bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi di Indonesia secara umum untuk berkompetisi dalam bidang periklanan, jurnalistik, public relation, dan media hiburan. Mengusung nuansa yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini, Ajisaka hadir dalam bentuk festival.  Konsekuensi dari perubahan tersebut menjadikan Festival Ajisaka mempunyai rangkaian acara yang lebih beragam.

Memasuki penyelenggaraan yang ke-4 pada tahun 2019 ini, Festival Ajisaka mengangkat tema bertajuk “Abhipraya Darani: Meluak Plastik”. Tema tersebut bermakna “memiliki harapan untuk bumi dengan mengurangi plastik”. Artinya, lewat tema tersebut, Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM hendak mengajak kita semua lebih menjaga kelestarian hidup bumi dengan mengurangi penggunaan plastik.

Sejalan dengan tujuan tersebut, Jumat lalu, di Auditorium Mandiri Lantai 4 Fisipol UGM diadakan acara seminar bertajuk Environment Talk: Pirsa Bentala yang berarti “lihat bumi, bangkitkan niat”. Acara tersebut menghadirkan dua pembicara: Dila Hadju (Founder Gerakan #tumbuhijaurban) dan Fano Alfian Ardyansyah (Co-founder Ailesh Power).

Keduanya dikenal masyarakat luas sebagai aktivis lingkungan. Gerakan #tumbuhijaurban diprakarsai oleh Dila lewat kampanye di Instagram dengan fokus gaya hidup sehat dan eco-friendly, sementara Ailesh Power tempat Fano bekerja adalah organisasi yang berfokus pada pengembangan energi alternatif dan manajemen pembuangan sampah. Pada seminar Jumat lalu, keduanya membagi pengalaman kepada audiens terkait kegiatan sosialnya selama ini.

Pada termin pertama, Dila berkesempatan membagikan pengalaman pribadinya perihal gerakan cinta lingkungan. Kepada audiens, Dila mewanti-wanti supaya masyarakat betul-betul mengurangi penggunaan plastik dalam berbagai keperluan hidup, khususnya kantong plastik sekali pakai. Hal itu disebabkan karena sampah plastik membutuhkan paling sedikit 50 tahun untuk dapat terurai di tanah.

“Alam tidak perlu kita selamatkan, karena ia (alam) sudah ada ratusan tahun lalu dan akan tetap hidup hingga masa mendatang. Yang perlu kita selamatkan adalah diri kita sendiri, karena kita sedang hidup di alam yang sedang tidak sehat,” kata Dila. Dengan begitu, untuk menyelamatkan diri sendiri, sudah seyogyanya kita juga menyelamatkan tempat kita hidup sekarang, yaitu bumi.

Selanjutnya, pada termin kedua, Fano berbicara tentang sepak-terjangnya di gerakan lingkungan selama bergabung dengan Ailesh Power. Topik pembicaraan yang diangkat oleh Fano lebih berfokus pada manajemen pengelolaan limbah di Yogyakarta yang cenderung masih buruk. Padahal, tutur Fano, Yogyakarta termasuk daerah penghasil sampah yang cukup banyak dengan jumlah 300 ton perhari. Dengan fakta tersebut, Yogyakarta sudah dapat dikategorikan sebagai daerah darurat sampah.

Dilatarbelakangi oleh masalah tersebut, Ailesh Power sebagai menawarkan platform bernama Si Eco sebagai solusi. Si Eco merupakan aplikasi yang memberikan layanan penjemputan sampah hasil pilahan (organik atau non-organik) konsumen. Dengan modernisasi seperti saat ini, Ailesh Power hendak mendorong gerakan cinta lingkungan yang termediasi lewat kemajuan teknologi.

Kehidupan memang tak akan berlangsung selamanya. Manusia terus menua, dan bumi tempat manusia tinggal juga punya batas kemampuan untuk menampung kita. Lewat gerakan yang didorong oleh Environment Talk ini, penyelenggara Festival Ajisaka memang tak mampu menjanjikan apapun. Hanya saja, kita pantas untuk berharap di bumi yang lebih sehat, dalam waktu yang sedikit lama lagi, bersama-sama. (/Snr)