Exposure Talks #3: Magang di Kedutaan Besar Republik Indonesia Bangkok

Yogyakarta, 13 Mei 2020ㅡGlobal Engagement Office (GEO) Fisipol UGM kembali hadir dengan seri ketiga Exposure Talks. Uniknya, dalam seri ketiga ini, Exposure Talks hadir dengan konsep yang sedikit berbeda dari dua seri sebelumnya. Pada kesempatan kali ini, Exposure Talks mengangkat topik magang di luar negeri dengan menghadirkan Arifiana T.P Wardhani, mahasiswa semester akhir Fakultas Hukum UGM, sebagai pemateri. Tahun lalu, Arifiana—atau yang biasa dipanggil Tata—berkesempatan untuk magang di kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bangkok. Diskusi bertajuk “Internship at The Embassy” ini dimulai pukul 15.00 melalui platform grup Whatsapp.

Pendaftaran Exposure Talks sudah dibuka sejak empat hari sebelum penyelenggaraan. Para peserta yang mendaftar akan dikirimkan pranala grup Whatsapp diskusi. Sepuluh menit sebelum diskusi dimulai, Raissa Almira (staf Event & Media GEO) selaku moderator mengingatkan peserta bahwa diskusi akan segera dimulai. Tepat pukul 15.00, Raissa pun memperkenalkan diri dan menjelaskan teknis pelaksanaan diskusi. Tak lupa, Raissa juga mempersilakan Tata untuk memperkenalkan diri, yang mendapat sambutan baik dari sang pemateri.

Sebagai pemantik diskusi, Raissa memberikan kesempatan pada para peserta untuk mengajukan pertanyaan terkait hal-hal yang ingin diketahui mengenai magang di KBRI. Para peserta pun menunjukkan antuasiasmenya dengan memberikan beragam pertanyaan, mulai dari teknis dan prosedur pendaftaran, jobdesc dan manfaat yang didapat dari magang, hingga biaya hidup saat magang. Menanggapi pertanyaan para peserta, Tata pun menjawab secara runtut dengan spesifik mengacu pada pengalamannya di KBRI Bangkok.

Tata menjelaskan bahwa tidak ada syarat khusus untuk mendaftar magang di KBRI Bangkok. Mahasiswa dari berbagai jurusan dan semester boleh mendaftar. “Saat saya magang di sana pun saya bertemu interns lain dari berbagai jurusan, misalnya Bahasa Inggris, Ekonomi, Pendidikan, HI, dsb,” tutur Tata. Proses pendaftarannya pun tidak rumit, cukup dengan mengirim surel langsung kepada bagian Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Bangkok. Surel tersebut berisi lampiran berupa surat izin magang dari kampus, juga disertakan subjek dan badan surel sebagai pengantar.

Jobdesc baru akan diberikan pada hari pertama magang dengan sistem plotting. Para peserta magang akan di-plotting ke dalam sebelas departemen yang terdiri atas tujuh atase dan empat fungsi. Sebelas departemen ini antara lain: Fungsi Politik; Fungsi Ekonomi; Fungsi Protokol dan Konsuler; Fungsi Penerangan, Sosial, dan budaya; Atase Pertahanan; Atase Pendidikan; Atase Perdagangan; Atase Imigrasi; Atase Kejaksaan Agung; Atase Riset; dan Atase Polisi. Namun, plot ini tidak bersifat tetap, masih ada kemungkinan diubah jika memang dirasa perlu atau peserta magang meminta pertukaran.

Waktu itu, Tata ditempatkan di Atase Imigrasi yang bertugas mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan visa, paspor, serta layanan kekonsuleran yang lain, seperti legalisasi perkawinan dan dokumen luar negeri. Spesifiknya, Tata ditempatkan di bagian front desk yang bertugas melayani WNA atau WNI yang memerlukan bantuan terkait pengurusan dokumen imigrasi mereka. Terdapat dua shift dengan tugas yang berbeda di kantor Imigrasi, yaitu pukul 09.00-12.00 dan 13.00-16.00. Shift pertama adalah jam operasional pendaftaran visa, sedangkan shift kedua adalah jam operasional pengambilan paspor bagi WNA yang visanya sudah disetujui.

Tata merasa pengalaman magang ini memberikannya banyak sekali output yang secara tidak sadar ia terima. Selain mendapatkan sertifikat magang, Tata juga belajar banyak hal, termasuk soft skill yang berkaitan dengan customer service, manajemen waktu, dan etika pekerjaan. Tata juga mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai suasana kerja di kantor kedutaan besar. Pengalaman settling in di Bangkok juga menjadi tantangan tersendiri baginya.

Biaya hidup di Bangkok sebenarnya tidak berbeda jauh dengan di Jakarta. Harga makanan sehari-hari berkisar antara 30-70 baht atau sekitar 15-35 ribu rupiah. Sepengalaman Tata, dalam sehari, ia bisa mengeluarkan sekitar 100 baht atau 50 ribu rupiah yang rata-rata dialokasikan untuk keperluan makan dan transportasi umum. Jika ditotal, biaya hidup yang dibutuhkan di Bangkok dalam sebulan berkisar antara 1,5-2,5 juta rupiah. Tentu, pengeluaran tersebut akan lebih hemat jika membeli makanan cepat saji di minimarket dan mendapat akomodasi yang lebih dekat dengan KBRI.

Akomodasi berupa penginapan dapat dicari melalui berbagai aplikasi, contohnya Airbnb. Di sekitar KBRI pun terdapat banyak hostel atau apartemen. Harga sewa sebuah hostel atau apartemen studio berkisar antara lima sampai sepuluh ribu baht, tergantung fasilitas yang didapatkan. Untuk mendapatkan harga yang lebih murah, Tata menyarankan untuk menyewa akomodasi bersama teman.

Terkait transportasi umum, Bangkok memiliki berbagai opsi moda transportasi umum, mulai dari kereta, bus, hingga perahu. Tata pribadi lebih suka naik perahu untuk menghindari kemacetan. Biaya untuk naik perahu pun terbilang lebih murah dibanding naik bus.

Terlepas dari persoalan biaya hidup, ada beberapa hal yang membuat pengalaman settling in di Bangkok menjadi tantangan tersendiri bagi Tata. Pertama, Thailand bukan lah english-speaking country, sehingga menyiapkan google translate kapan pun dan di mana pun adalah sebuah keharusan. Tata juga sempat mengalami beberapa culture shocks di Bangkok, mulai dari perihal disiplin waktu agar tidak tertinggal transportasi umum hingga perihal banyaknya anjing jalanan yang lalu lalang atau tidur di trotoar.

Diskusi ditutup dengan sesi tanya jawab. Total terdapat enam pertanyaan dari para peserta yang dijawab secara detail oleh Tata. Diskusi pun ditutup sekitar pukul 16.08. Bagi peserta yang tertarik untuk mengetahui lebih jauh, Tata menyarankan untuk mengontaknya via Whatsapp atau mengecek highlights yang ia buat di akun Instagramnya. (/hfz)