Gelar Sesi Keempat, Serial Diskusi Bawakan Tema “Bangkitnya Solidaritas Sosial di Tengah Krisis Covid-19”

Yogyakarta, 13 April 2020—Memasuki sesi keempat dari rangkaian Serial Diskusi Fisipol UGM terkait penanganan covid-19, tepat pada hari Senin, diselenggarakan diskusi dengan mengangkat tema yakni “Bangkitnya Solidaritas Sosial di Tengah Krisis Covid-19”, menghadirkan Dr. Arie Sudjito dan Ms. Fina Itriyati, M.A. sebagai Narasumber. Seperti biasanya, sesi serial diskusi ini dapat diakses tidak hanya dari sivitas akademika Fisipol UGM saja, melainkan dapat diakses oleh masyarakat luar pula. Antusiasme peserta serial diskusi dengan tema kali ini dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan yang menuntun pada semakin interaktifnya diskusi, meskipun diadakan secara daring.

Persoalan pandemik covid-19 nampaknya tidak akan pernah ada habisnya untuk dibicarakan di tengah situasi genting seperti saat ini. Pasalnya, berbagai dampak yang ditimbulkan kerap membuat perubahan-perubahan yang secara langsung maupun tidak langsung turut memengaruhi kehidupan manusia. Berbagai perubahan itu, dapat diindikasi sebagai suatu hasil yang bersifat negatif dan positif. Perubahan akan dikatakan negatif apabila dilihat dari adanya berbagai kerugian-kerugian yang dialami oleh seluruh lapisan masyarakat, baik itu kerugian di sektor ekonomi dan sosial yang dampaknya paling dirasakan. Namun, secara tidak langsung, wabah pandemik covid-19 juga memunculkan perubahan dari bawah yang ditandai dengan munculnya kekuatan masyarakat dengan membentuk suatu gerakan sosial yang mengatasnamakan solidaritas untuk bahu membahu dalam menangani persoalan yang ditimbulkan akibat adanya pandemik covid-19.

Solidaritas sosial yang diinisiasi oleh beberapa aktor baik dari level Individu, Komunitas berbasis Neighborhood, NGO, Organisasi Keadamaan, Kelompok Daring Grup Whatsapp, dan lain-lain ini dinilai oleh Fina Itrayati sebagai bentuk dari adanya perwujudan nilai interdependensi, mutual help, kesalehan sosial, wujud altruisme, pengalaman pribadi, pengalaman masa lalu dalam mengelola pandemik atau krisis atau bencana, serta merupakan bentuk dari adanya awareness dan kepedulian terhadap aspek kemanusiaan. Keberadaan gerakan sosial yang berbasiskan pada solidaritas sesama untuk saling membantu, memberikan suatu pernyataan yang jelas akan sikap dan respon konkret yang diambil oleh masyarakat. Pengambilan sikap ini tentunya dapat menimbulkan berbagai spekulasi terkait ketidakpastian gerak dan peran pemerintah dalam membantu menangani berbagai dampak yang dirasakan oleh masyarakat. “Ketidakpastian inilah yang memicu timbulnya jenis kekuatan baru yang bersifat bottom up, yang dilakukan atas dasar inisiasi dan keinginan masyarakat dengan membantuk solidaritas sosial di tengah krisis covid-19”, tambah Itrayati.

Penilaian atas berdirinya berbagai macam bentuk solidaritas sosial juga dapat dikaitkan dengan adanya nilai yang selama ini sudah menjadi landasan masyarakat kita dalam menjalani kehidupan sebagai makhluk sosial. Kultur “gotong royong” yang melekat pada mayoritas masyarakat turut memrakarsai lahirnya gerakan solidaritas masyarakat dalam membantu satu sama lain. Bentuk dukungan yang hadir pun sangat beragam, mulai dari penggalangan dana untuk membantu masyarakat yang terkena imbas ekonomi, penggalangan dana untuk membeli alat-alat kesehatan yang dibutuhkan, seperti masker, hand sanitizer, dan pakaian APD yang diperlukan oleh tenaga medis. Tak hanya itu, dalam sesi serial diskusi yang difasilitasi oleh pihak Fisipol ini, Fina Itrayati selaku Narasumber turut menyatakan bahwa terdapat bentuk solidaritas lain yang dianggap sebagai solidaritas sosial yang unik yakni dengan melakukan “self-control”.

“Self-control” merupakan langkah sederhana yang bisa dimulai dari diri sendiri sebagai individu untuk menahan diri dengan melakukan social distancing di tengah mewabahnya virus corona. Narasi yang dibangun atas pemberlakuan self-control ini merupakan wujud dari solidaritas sosial sebab pada dasarnya self-control yang dilakukan dengan melakukan social distancing, bertujuan untuk memutus rantai penyebaran virus korona di lingkungan masyarakat. Self-control merupakan wujud solidaritas sosial yang berdampak pada kepentingan kolektif. Tindakan yang sederhana, tetapi apabila terus diterapkan oleh masyarakat, maka akan sangat berdampak bagi penanganan virus korona yang tengah mewabah ini. Upaya-upaya yang dilakukan secara bottom up dan tidak melibatkan tangan pemerintah dapat menjadi sebuah potret yang mengindikasikan bahwa masyarakat kita mampu berdaya secara mandiri dengan membangun gerakan solidaritas sosial berskala lokal.

Bangkitnya solidaritas sosial di tengah krisis covid-19 setidaknya mampu menjadi refleksi tak hanya bagi pelaku dari solidaritas sosial itu sendiri, tetapi bagi pemerintah yang memiliki posisi sebagai penanggung jawab atas keberlangsungan penanganan pandemik dengan segala dampak yang dibawanya. “Solidaritas sosial dapat diidentifikasikan sebagai suatu upaya jangka pendek yang dilakukan masyarakat karena ketidakhadirannya pemerintah dalam membantu masyarakat sampai di level lokal. Kekuatan ini harus dimaknai sebagai upaya strategis dari masyarakat untuk memperkuat agenda peran pemerintah yang perlu dievaluasi kembali”, papar Surdjito. Penguatan peran pemerintah penting kiranya untuk dilakukan dalam merespon tuntutan masyarakat di tengah krisis covid-19.

Apa yang kemudian perlu digarisbawahi adalah sebagaimana yang telah disampaikan oleh Arie Surdjito, selaku Narasumber dalam menutup sesi Serial Diskusi Fisipol UGM kali ini ialah bahwa masih banyak “agenda ke depan” yang perlu diperhatikan baik itu terkait dengan banyaknya pengetahuan lokal tentang pertahanan diri yang perlu menjadi pertimbangan kebijakan Negara, penguatan masyarakat sipil yang penting untuk dikembangkan, serta perlu kiranya untuk mengangkat kisah-kisah positif keberdayaan warga dalam solidaritas sosial agar bisa menjadi inspirasi bagi masyarakat luas lainnya. (/Adn)