HAKI dari Segi Teoris dan Empiris: Masih Dianutnya Konsep Properti Komunal, Ini Penjelasannya!

Yogyakarta, 7 Agustus 2020—“Wajar jika masyarakat kita mengalami culture shock terhadap konsep HAKI karena masyarakat kita mengenal konsep properti komunal bukan individualis” Kata kunci konsep properti komunal cukup menjadi penjelasan awal yang menohok yang disampaikan oleh salah satu narasumber Digital Difussion ke-30 yang kembali digelar oleh Center for Digital Society (CfDS) melalui platform Google Meet (07/08/2020). Dengan mengangkat tema Memahami HAKI di Era Digital, CfDS mengundang tiga narasumber yang terdiri dari para pelaku industri kreatif yakni Henricus Pria (Writer dan Director Studio Batu dan Rekata Studio) dan Bani Nasution (Independent Film Maker Sepanjang Jalan Satu Arah/Along The One Way) serta dari akademisi, Laurensia Andrini (Dosen Fakultas Hukum UGM). Dua jam sesi diskusi ini dimanfaatkan oleh narasumber untuk berbagi materi terkait Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) baik dari konsep teori dan empiris.

Merujuk pada pemaparan Laurensia, Hak Atas Kekayaan Intelektual merupakan hak ekslusif atas karya yang dihasilkan dari pemikiran manusia (Usman, 2003). Laurensia juga menambahkan bahwasanya awalnya, konsep HAKI hanya berlaku di barat yang menghendaki adanya konsep properti individualis atau konsep yang menegaskan adanya kepemilikan yang dimiliki atas diri sendiri. Sementara hal tersebut nampaknya tidak banyak berlaku di Indonesia sebab masyarakat kita memiliki tendensi budaya yang bersifat komunal. Alhasil, konsep HAKI tidak banyak dikenali oleh masyarakat Indonesia. Tak hanya itu, konsep ini juga memunculkan culture shock yang ditimbulkan akibat dominannya konsep properti komunal dibandingkan dengan konsep properti individualis sebagaimana banyak berlaku di barat.

Selain perlu memahami terkait definisi secara harafiah dari HAKI itu sendiri, perlu kiranya untuk mengenali beberapa jenis HAKI sebagaimana disampaikan oleh Laurensia. Pertama, terdapat Hak Cipta (copyright), Hak Paten (patent), Hak Merek (trademark), Hak Desain Industri, Indikasi Geografis, dan sebagainya. Dari beberapa hak yang disebutkan, Laurensia menjelaskan secara konseptual mengenai tiga macam hak yakni Hak Cipta yang merupakan hak yang dimiliki atas ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Kemudian, Hak Paten merupakan hak yang diberikan kepada invensi yang baru dan biasanya hak ini diterapkan dalam industri. Serta, Hak Merek yang dapat dimiliki atas kepemilikan suatu karya yang dinilai sebagai sebuah pembeda dari karya lainnya, seperti gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna dalam bentuk 2D atau 3D, suara, dan sebagainya.

Dengan dapat membedakan ketiga macam HAKI diatas, Laurensia berharap agar ke depannya, para pelaku industri kreatif dapat melindungi karya yang diciptakan berdasarkan pada peraturan atau hukum yang berlaku. Berkaitan dengan hal tersebut, sebagai salah satu pelaku industri kreatif, Henricus turut menjelaskan persoalan HAKI di Indonesia yang kiranya masih menjadi problematika untuk dibahas. Penekanan yang disampaikannya mengarah terhadap buah karya visual yakni film. sebagai salah satu film maker, Henricus menyadari bahwasanya dewasa ini, masyarakat kita sudah banyak dihadapkan dengan berbagai macam platform yang menjadi digital distribution, mulai dari Netflix, Iflix, YouTube, Prime Video, Criterion Collection, dan lain sebagainya. Sisi positifnya, keberadaan berbagai macam platform tersebut disambung Bani dapat menjadi motivasi bagi para film maker untuk terus berkarya dalam menghasilkan karya. Akan tetapi, pada sisi negatifnya, dikhawatirkan pencomotan karya akan semakin banyak terjadi.

Adanya pencomotan karya atau yang diistilahkan sebagai piracy umumnya dapat ditemui dari adanya situs-situs tidak berbayar seperti IndoXXI, The Pirate Bay, dan Kickass Torrents. Yang mana, berbagai pencomotan ini pun dinilai Laurensia dapat terjadi karena budaya yang tumbuh dalam masyarakat adalah masih menganut konsep properti komunal.  Dalam mengatasi terkenanya hak cipta milik orang lain dan menghindari plagiasi, Bani menegaskan bahwasanya memang basic dalam pembuatan film adalah mengumpulkan berbagai macam karya, mulai dari footage, musik, dan video ke dalam sebuah karya baru. Maka dari itu, sedari awal dalam proses pembuatan, hendaknya untuk memastikan perihal keabsahan atau legalitas karya-karya yang hendak digunakan. Tak hanya itu, persoalan plagiasi pun juga tidak melulu harus diselesaikan dengan jalan hukum, Laurensia dalam hal ini menyarankan, ada baiknya untuk melakukan negosiasi secara kekeluargaan. Sebagai sebuah pengingat pula, suatu karya yang diciptakan akan dapat dimiliki atas dasar hak moral dan hak ekonomi.

Hak moral akan selamanya melekat pada pencipta atas karya-karya yang telah diciptakan. Sementara hak ekonomi merupakan hak dari pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengkomersilkan ciptaan, biasanya hak ekonomi ini memiliki variasi jangka waktu kepemilikan atas suatu karya. Laurensia juga memberikan catatan penting bahwasanya penggunaan ciptaan akan tidak termasuk pelanggaran apabila digunakan untuk pendidikan, penelitian, keamanan dan penyelenggaraan pemerintah, ceramah untuk tujuan pendidikan, serta pertunjukkan yang tidak dipungut biaya. Selama dalam penggunaannya mencantumkan sumber dan tidak menimbulkan kerugian kepentingan yang wajar dari pencipta.

Di akhir pemaparan, ditegaskan kembali bahwasanya “Tujuan keberadaan HAKI adalah untuk dapat menjembatani kemajuan kreativitas dan inovasi bagi tiap-tiap penghasil karya. Akan tetapi, perlu diingat pula bahwa keberadaan HAKI juga akan menjadi senjata bagi kreativitas apabila tidak dibarengi dengan kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai penghasil karya” Tegas Laurensia. (/Adn).