YOGYAKARTA – Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada, Institue of International Studies, dan Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina, menggelar kegiatan peluncuran buku Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang: Belajar dari ‘Imam dan Pastor’ pada Senin (16/10) di Auditorium Lantai 4 FISIPOL UGM.
Buku Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang: Belajar dari ‘Imam dan Pastor’ diterbitkan dalam rangka menyambut kedatangan Imam Muhammad Ashafa dan Pastor James Wuye dari Nigeria. Keduanya adalah pemuka agama yang sama-sama hijrah: bekas milisi dalam konflik berbasis agama yang beralih jadi fasilitator untuk upaya damai di komunitas masing-masing. Mereka memutus rantai kekerasan dengan menggiatkan pendekatan nirkekerasan untuk juru damai muda di Nigeria, bahkan dunia. Alih-alih menjadikan agama sebagai penggerak kekerasan, mereka gunakan agama sebagai sumberdaya perdamaian.
Yogyakarta menjadi kota pertama yang disinggahi sebelum mereka bertolak ke Jakarta. Sebelumnya telah diadakan acara pemutaran dan diskusi film The Imam and the Pastor(2008) di Lembaga Indonesia-Prancis Yogyakarta (6/10), kuliah umum di University Hotel UGM (10/10), serta tiga hari lokakarya yang diikuti oleh 30 peserta terpilih dari seluruh Indonesia di tempat yang sama (11-13/10). Hari ini (16/10), buku yang memuat kumpulan esai dari akademisi, praktisi, dan tokoh-tokoh perdamaian resmi dilepas ke pasaran.
Ada satu premis menarik yang diangkat oleh buku Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang: Belajar dari ‘Imam dan Pastor’, yakni bahwa kita seringkali tidak adil sejak dalam pikiran. Kita berharap agama menyebarkan kasih, tetapi begitu besar perhatian kita pada segala pemberitaan agama yang memuat unsur kekerasan. Barangkali banyak dari kita yang begitu cepat memberikan like, komentar, dan bahkan membagi berita tersebut kepada jejaring di media sosial. Dalam lingkup akademik, sering kita diskusi tentang peristiwa kekerasan dengan bumbu agama; membedahnya melalui riset lalu menuangkannya dalam berbagai tulisan. Seolah agama adalah sumber yang tak habis digali untuk membicarakan kekerasan. Kecenderungan ini menjadikan kita luput memerhatikan, pun luput berkontribusi mengabarkan, bahwa banyak praktik binadamai serta nirkekerasan berbasis agama yang telah diupayakan di berbagai penjuru dunia.
Selain diterbitkan dalam rangka menyambut kedatangan Imam dan Pastor, buku ini bertujuan pula untuk mengarusutamakan wacana agama dan perdamaian di Indonesia. Oleh karenanya, beragam kasus dan figur binadamai diajukan sebagai sorot utama dalam tiap bab buku ini. Di bagian pertama, pengantar editor menjelaskan gagasan besar di balik penyusunan buku. Di bagian kedua, tiga tulisan merangkai kumpulan cerita aksi binadamai kaum agamawan dari berbagai latar-belakang agama dan kawasan. Empat bab di bagian ketiga secara khusus membahas ragam geliat dan penggiat binadamai di Tanah Air. Bagian terakhir secara khusus menawarkan sebuah refleksi atas upaya binadamai di Maluku dan pembelajarannya bagi upaya sejenis di Indonesia dan dunia.
Peluncuran buku Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang: Belajar dari ‘Imam dan Pastor’ mengundang Ihsan Ali Fauzi, selaku editor buku, sebagai pemantik diskusi. Kegiatan ini didedikasikan untuk salah satu kontributor, Samsu Rizal Panggabean (alm., 1961-2017), yang berpulang di tengah proses pengerjaan buku. Peluncuran buku akan diiringi oleh rangkaian kegiatan berupa pemutaran film “Walking Ned Divine”, penampilan musik damai, pameran buku-buku perdamaian, pembacaan ayat-ayat perdamaian, serta permainan kolektif “Kapal Indonesia Damai” untuk merayakan perdamaian lintasiman sekaligus merajut benih binadamai yang telah disemai oleh Samsu Rizal Panggabean semasa hidup. (NGP/AN)
Narahubung:
Institute of International Studies
sebuah badan riset di bawah Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
Adya Nisita (0812-2800-1236)