Konferensi Bulaksumur #3 : Menyoal Kesiapan Stakeholders di Era New Normal

Yogyakarta, 3 Juli 2020—Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM mengadakan Konferensi Bulaksumur #3 yang bertajuk “The New Normal: Siap (Atau) Nggak Siap?”. Setelah mengadakan konferensi pertama dan kedua, konferensi ketiga ini menjadi penutup dari rangkaian konferensi Public Action 2020. Dalam kesempatan ini, panitia Public Action 2020 menghadirkan tiga narasumber, yaitu Sulfikar Amir, Sosiolog Bencana, Associate Professor Nanyang Technological University Singapore, Kolaborator Lapor Covid-19, Dahlia Citra Buana, Chief of Multi-Creator Narasi, dan Yulius Setiarto, Ketua Bidang Relawan pendukung Tim Koordinator Relawan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Mengawali pemaparannya, Yulius Setiarto banyak berbicara mengenai skema penta helix untuk mengelola kenormalan baru. Menurutnya, saat ini dampak besar dari Covid-19 bergeser ke sosial dan ekonomi sehingga perlu struktur yang kuat sebagai prasyarat ‘New Normal’. Ia mengungkapkan pentingnya skema pentahelix yang selama ini dipahami masyarakat sebagai gotong-royong. “Sehingga seluruh aspek saling membantu pada ruang lingkup dan kompetensi masing-masing untuk mencapai tujuan yang sama,” jelas Yulius.

Dalam penjelasannya, Yulius juga memberikan gambaran mengenai peran apa saja yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak untuk menciptakan skema pentahelix tersebut. Pertama, pemerintah perlu menciptakan lingkungan yang mendukung protokol, mengkomunikasikan protokol serta memberikan fasilitas dan insentif kepada masyarakat. Kedua, pelaku usaha harus menjalankan protokol kesehatan secara ketat. Ketiga, masyarakat dapat berinisiatif melakukan upaya-upaya untuk membantu terselenggaranya protokol di setiap level, mulai dari individu hingga komunitas. Keempat, akademisi mengkaji dari data yang ada sebagai dasar rangkaian pembuatan kebijakan. Kelima, media mengamplifikasi kebijakan pemerintah dan perubahan perilaku masyarakat serta melakukan kritik terhadap hal-hal yang menyimpang.

Menanggapi mengenai kebijakan New Normal, Sulfikar menyatakan bahwa sebenarnya era tersebut tidak relevan karena kurva Covid-19 masih terus naik dan gelombang pertama belum berakhir. Melihat kondisi tersebut, Sulfikar berpendapat bahwa resiliensi atau ketahanan dalam bencana menjadi ukuran dari kemampuan masyarakat merespon krisis. “Ketahanan pandemi sebagai konsep atau narasi utama yang lebih produktif untuk mengidentifikasi masalah dan cara mengantisipasinya,” imbuh nya. Sehingga, institusi dan komunitas saling berkelindan dalam melakukan respon secara kolektif.

Lebih lanjut, Sulfikar menyebutkan ada empat kecenderungan perilaku yang menandai kemampuan sebuah komunitas, masyarakat, atau sistem dalam merespon sebuah krisis. Pertama, Collapse yaitu kondisi paling fatal yang mengakibatkan kinerja menurun dan drop pasca bencana. Kedua, Ductile yaitu perilaku membelok, dimana kinerja masih naik namun kondisi pasca bencana lebih menurun jika dibandingkan dengan kondisi sebelum bencana. Ketiga, Robust atau perilaku tangguh, dalam artian kinerja turun namun mampu bounce back kembali ke situasi sebelum shock. Keempat, Adaptive yaitu kondisi stabil pasca bencana justru lebih baik daripada sebelumnya.

Dalam akhir pemaparannya, Sulfikar juga memberikan saran bagi para stakeholder. “Framework kita harus dirubah dari mitigasi Covid-19 ke social transformation,” terangnya. Menurut Sulfikar, pandemi ini dapat dijadikan sebagai driving force untuk melakukan perubahan atau transformasi di berbagai sektor. Antara lain yaitu urban environment, education, social welfare, health and medicine, serta technological advancement. Selain itu, menurutnya, untuk mencapai tahap robust maupun adaptive dibutuhkan transformasi sosial yang lebih fundamental dan substansial agar bisa melakukan upaya-upaya bertahan pasca bencana Covid-19.

Berbicara dari sudut pandang yang berbeda, Dahlia Citra mengawali pemaparanmya dengan bercerita bagaimana institusi termasuk Narasi beradaptasi dengan Pandemi ini. Menurutnya, kolaborasi menjadi kata kunci untuk menggandeng pihak lain yang lebih ahli dalam bidang tertentu agar dapat mencapai tujuan lebih cepat. “Kami menggandeng berbagai partner untuk riset dan mengikuti pola-pola proses produksi yang tidak harus dilakukan oleh tim internal melainkan professionally generated content atau PGC dari content creator,” jelasnya. Berbagai terobosan dilakukan oleh Narasi, mulai dari melakukan workshop dengan contenc creator dari seluruh Indonesia, hingga Narasi Newsroom yang mengeluarkan informasi dan data terkait Covid-19.

Selain itu, dijelaskan oleh Dahlia bahwa tidak ada ruang untuk media melakukan kesalahan konten dikarenakan netizen yang cepat tanggap memberikan kritik jika informasi tersebut memiliki kesalahan. Menurutnya, dalam kondisi tersebut dibutuhkan respon yang cepat karena pihak media harus bertanggung jawab atas pemberitaan mereka. “Perihal menangkal serangan netizen dan hoax ya dengan cara menyajikan data dan fakta dengan treatment visual yang baik, serta relevan dengan kebutuhan audiens,” ungkap Dahlia. Menyambung hal tersebut, ia menyatakan bahwa audiens membutuhkan informasi aktual, dapat dipercaya dan tidak berhenti sebatas angka/data. Selain itu, paparan data juga tidak bisa hanya satu arah, karena masyarakat hanya melihat sebatas angka yang pada akhirnya akan diabaikan. “Sehingga, tugas media adalah menerjemahkan dan memaknai angka tersebut agar relevan dengan masyarakat menggunakan bahasa visual yang lebih relatable,” pungkasnya. (/Ann)