MAP Corner: Apakah Golput Sebuah Pilihan Yang Masuk Akal Di Tengah Minimnya Pillihan Politik Alternatif?

Yogyakarta, 19 Maret 2019—Golput yang sedang ramai dibicarakan media berbeda dengan golput sebagai sebuah gerakan perlawanan sosial atas sistem politik yang mengekang.

“Golput atau Golongan Putih awalnya merupakan gerakan alternatif yang mencoba melawan rezim Orde Baru yang secara despotik membatasi pilihan dalam pemilu. Namun golput yang diberitakan di media dan dalam wacana publik saat ini menyamakannya dengan absentee voters atau pemilih yang memang tidak mau memilih bukan atas alasan ideologis,” Ucap Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Wawan Mas’udi sebagai pemantik dalam diskusi MAP corner minggu ini.

Menurutnya Golput dalam artian tidak memilih dapat disebabkan oleh berbagai alasan, seperti alasan teknis dalam pendaftaran, merasa memilih tidak akan membawa perubahan berarti dan ketidakperdulian terhadap pemilu dan politik. Berbagai alasan tersebut tidak bisa dimasukkan dalam satu keranjang besar bernama “golput”.

Sedangkan Golput sebagai sebuah gerakan merupakan bentuk menifestasi dari popular discontent atau keresahan masyarakat atas sistem politik yang diterapkan dalam masyarakat tersebut. Keruntuhan sistem Orde Baru disinyalir karena munculnya keresahan tersebut dan ketidakampuan sistem untuk beradaptasi terhadap perubahan tersebut.

Menurut data riset yang sedang dijalankan oleh Fisipol UGM, perbincangan mengenai Golput di berbagai media sosial, mencakup pro, kontra dan pemikiran alternatifnya marak muncul di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Malang dan Makassar.

Kemudian, pertanyaan yang muncul adalah seberapa besar pengaruh dan cakupan Golput sebagai sebuah gerakan politik?

Di sisi lain aktivis Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-Sedar) melihat golput dari kacamata gerakan serikat buruh. Menurutnya golput sering digunakan sebagai gerakan alternatif ketika cara-cara konvensional seperti berserikat dan membentuk partai dibatasi oleh sistem politik.

“Kalau masa Orde Baru dulu, gerakan alternatif itu dibatasi dan diberangus dengan senjata dan militer, kalau sekarang lewat hal-hal teknis seperti undang-undang. Jadi sebenarnya lebih jelas dulu siapa yang despotik siapa yang demokratis, kalau sekarang justru pelembagaan demokrasi jadi alasan untuk membungkam gerakan alternatif” tutunya.

Salah satu hal teknis yang membatas gerakan alternatif adalah UU No. 07 tahun 2017 tentang Pemiihan Umum. Dalam undang-undang tersebut terdapat ambang batas untuk berpartisipasi sebagai calon presiden (presidenstial treshold) yang membutuhkan 20 persen kursi legislatif dan ambang batas legislatif (parliamentary treshold) yang membutuhkan 4% suara nasional.

“Terlebih lagi partai baru yang muncul saat ini hanya bungkusnya saja yang baru, namun basisnya elitis dan mengekor pada isu dan kepentingan pemilik modal,” jelasnya.

Hal tersebut menyebabkan semakin sedikit pilihan alternatif secara politik yang menyebabkan golput menjadi pilihan yang masuk akal, untuk dikemudian hari menjadi modal pergerakan yang lebih progresif. Kelompok buruh juga dinilainya memiliki peluang besar untuk menjadi motor gerakan alternatif di Indonesia.

“Potensi serikat buruh ini besar, selain ia dapat membiayai diri sendiri lewat iuran dll., kelompok buruh juga mampu melakukan advokasi di tingkat paling bawah,” terangnya.

Diskusi MAP Corner yang merupakan acara mingguan ini dilaksanakan pada Selasa, 19 Maret di gedung Fisipol Unit 2, tepatnya di lobi gedung MAP. Dihadiri oleh sekitar 30 orang, dikusi dimulai dengan pemaparan pemantik diskusi dan sesi tanya jawab terkait isu golput dan demokrasi Indonesia secara luas. (AAF)