Membahas Perundungan dari Perspektif Psikologi dalam Sesi Siaran Langsung Psikoedukasi CDC

Yogyakarta, 18 Juni 2020—Semenjak kebijakan stay at home diterapkan, masyarakat pun memiliki lebih banyak waktu untuk memeriksa media sosialnya. Sayangnya, intensitas penggunaan media sosial yang meningkat diikuti pula dengan maraknya kasus perundungan daring (cyberbullying). Berbicara soal perundungan, kenyataannya, perundungan sudah sejak lama terjadi dengan bentuk tradisional, yaitu yang dilakukan secara langsung. Dan yang disayangkan, perundungan ini ternyata terjadi di mana saja, bahkan di lingkungan kampus. Untuk membahas perundungan dari perspektif psikologi secara lebih dalam, Career Development Center (CDC) Fisipol UGM pun mengangkat isu ini dalam sesi siaran langsung psikoedukasi.

Sesi siaran langsung psikoedukasi bertajuk “Bullying” ini diisi oleh Reni Apriliawati, M.Psi, selaku psikolog di CDC Fisipol UGM. Dipandu oleh Alfira, officer CDC, sesi siaran langsung dimulai sekitar pukul 13:00 WIB. Sebagai pembuka, Alfira bercerita bahwa ia sempat membuat survei kecil-kecilan melalui akun instagram miliknya. Survei ini bertujuan untuk mendengar kisah orang lain mengenai perundungan yang pernah menimpa, dilihat, atau bahkan dilakukan mereka. Alfira pun mendapatkan respons dan cerita yang beragam. Namun, sebelum membahas cerita-cerita tersebut lebih dalam, Alfira meminta Reni untuk menjelaskan apa itu perundungan dan batasan dari perundungan terlebih dahulu.

Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan ketika ingin mengidentifikasi apakah suatu tindakan dapat dikategorikan perundungan atau bukan. Pertama, perundungan merupakan perilaku negatif. Artinya, tindakan perundungan ditujukan untuk menyakiti orang lain. Kedua, tindakan dapat dikategorikan perundungan apabila ia dilakukan secara terus menerus dan berulang, sehingga menimbulkan distress pada korban. Ketiga, perundungan dilakukan oleh individu yang memiliki power atau kekuatan yang lebih. Aspek ketiga inilah yang membedakan perundungan dengan agresivitas. Agresivitas terjadi ketika dua orang memiliki kekuatan yang sama kemudian berkelahi, sedangkan perundungan terjadi karena adanya kesenjangan kekuatan.

Perundungan sendiri terdiri atas dua macam, yaitu perundungan langsung atau tradisional dan perundungan daring atau cyberbullying. Dalam kedua macam perundungan ini terjadi bentuk-bentuk tindakan perundungan yang hampir sama, seperti verbal dan relasional. Perundungan relasional biasanya dilakukan secara tidak langsung atau tidak sadar. Tindakan dari perundungan relasional ini biasanya berupa gestur atau ekspresi wajah yang mengancam, pengucilan, dan tindakan mengalienasi. Pada perundungan langsung juga dapat terjadi tindakan menyakiti fisik, seperti memukul, menendang, dan menampar.

Satu hal yang sering dilupakan dalam melihat kasus perundungan adalah adanya peran serta saksi dalam perundungan. Reni menjelaskan, ada empat jenis saksi dalam kasus perundungan. Jenis saksi pertama adalah jenis asisten, atau orang-orang yang justru membantu terjadinya perundungan. Ada juga jenis saksi reinforcer, yaitu saksi yang tidak ikut merundung, tetapi ikut menertawakan korban perundungan. Jika diibaratkan, saksi reinforcer menjadi pihak yang memperkeruh suasana. Kemudian, ada jenis saksi outsider, saksi yang hanya diam saja saat melihat kasus perundungan. Saksi jenis outsider ini justru membiarkan perundungan terus terjadi sebab tidak angkat bicara. Ketiga jenis saksi tersebut membiarkan perundungan terus terjadi sebab tidak ada yang berusaha untuk memutus mata rantai perundungan. Saksi yang berusaha membantu menghentikan perundungan adalah jenis saksi defender.

Kemudian, Reni memberikan tips untuk menjadi saksi defender. Di ranah perundungan langsung, saksi defender dapat melakukan komunikasi secara asertif dan sederhana. Kemudian, bawa lah korban ke tempat aman dan dengarkan cerita korban. Jika perundungan dirasa sudah pada level yang parah, saksi defender dapat membantu melaporkan ke pihak berwenang. Sementara itu, untuk kasus perundungan daring, hal yang dapat dilakukan oleh saksi defender adalah mencari bukti perundungan, kemudian membantu memblokir atau melaporkan akun perundung. Perlu diingat untuk tidak ikut ramai memberikan komentar, sebab hal tersebut dapat memancing pihak lain untuk ikut berkomentar juga.

Perundungan ternyata memiliki dampak yang serius bagi para korbannya. Perundungan dapat menurunkan kepercayaan diri korban, menimbulkan kecemasan, perasaan tidak aman, dan juga takut. Dalam jangka panjang, perundungan dapat berakibat mengganggu kegiatan dan aktivitas di lingkungan tertentu. Dampak yang lebih berat, perundungan juga dapat mengakibatkan depresi dan menimbulkan keinginan untu mengakhiri hidup pada korban. Korban juga berisiko menjadi pelaku perundungan di masa yang akan datang. Untuk itu, Reni memberikan beberapa tips bagi para korban perundungan, baik tips untuk merespons tindakan perundungan maupun tips untuk menyembuhkan diri dari perundungan.

Hal pertama yang dapat dilakukan untuk merespons perundungan adalah dengan mencari support system. Selain itu, ketika terjadi perundungan, usahakan jangan memberikan respons yang agresif dengan teriak atau marah. Respons agresif tersebut justru dapat membuat pelaku menjadi puas atau malah meningkatkan agresivitas perundungan. Namun, korban juga jangan meminta maaf dan memuji pelaku. Hal tersebut sama saja dengan mengizinkan pelaku untuk melakukan perundungan. Yang perlu dilakukan korban adalah melakukan komunikasi penolakan sederhana dan tidak emosional, sambil menunjukkan gestur kepercayaan diri seperti menatap mata pelaku. Korban juga bisa untuk melaporkan kasus perundungan. Jika korban merasa dampaknya perundungan sudah sangat mengganggu, lebih baik korban mencari bantuan profesional untuk menyembuhkan diri dari perundungan.

Selama Reni menyampaikan materi, Alfira sesekali ikut menceritakan kisah yang pernah dialaminya. Alfira juga memberikan contoh dari tanggapan yang ia dapat di survei kecil-kecilan buatannya. Penyampaian materi juga diselingi dengan pembacaan pertanyaan yang diberikan penonton di kolom komentar sesi siaran langsung oleh Alfira, yang kemudian langsung dijawab oleh Reni. Sesi siaran langsung ini berlangsung selama sejam lebih dan diakhiri pukul 14:10 WIB. Dua video siaran ulang dari sesi psikoedukasi “Bullying” dapat ditonton di IGTV milik CDC Fisipol UGM. (/hfz)