Membahas “Tata Kelola Air untuk Masyarakat Miskin di Daerah Urban dan Krisis COVID-19: Studi Kasus di Jakarta” dalam Diskusi Cangkir Teh IIS

Yogyakarta, 17 Juni 2020—Keberadaan air, terutama air bersih, menjadi salah satu unsur yang paling penting di tengah pandemi saat ini. Rangkaian pola hidup bersih dan sehat (PHBS) seperti mencuci tangan, membersihkan badan, juga banyak minum air putih, tentu memerlukan air bersih dalam pelaksanaannya. Urgensi ketersediaan air bersih semakin bertambah bagi daerah yang menjadi pusat penyebaran virus—seperti Jakarta, dan juga bagi kelompok yang rawan terpapar COVID-19—seperti masyarakat miskin di daerah urban. Sayangnya, berdasarkan data BPS, hanya 74,6% populasi Indonesia yang memiliki akses untuk mencuci tangan dengan air bersih dan sabun. Bahkan, di Jakarta sendiri, hanya dua pertiga populasi yang memiliki akses ke air pipa. Untuk membahas isu ini secara lebih dalam, Institute of International Studies (IIS) HI UGM pun mengangkatnya sebagai tema dari diskusi Cangkir Teh kali ini.

Bertajuk “Water Governance for the Urban Poor and COVID-19 Crisis: the Case Study of Jakarta”, diskusi ini menghadirkan Marwa, M.Sc., peneliti di Pusat Studi Perdagangan Dunia UGM, sebagai pembicara. Dalam menyampaikan analisisnya mengenai topik tata kelola air ini, Marwa menggunakan perspektif environmental justice dan feminist political ecology. Namun sebelumnya, diskusi dibuka terlebih dahulu oleh moderator, Handono Ega P., sekitar pukul 15:05 WIB setelah peserta diskusi dilihat sudah banyak yang bergabung dalam ruangan Google Meet.

Perspektif environmental justice yang digunakan Marwa dalam menganalisis tata kelola air di Jakarta berhubungan dengan tiga aspek, yaitu aspek distribusi, rekognisi, dan partisipasi. Di sini, Marwa menjelaskan akar permasalahan ketimpangan tata kelola air di Jakarta dari tiap aspek. Sayangnya, jelas Marwa, di Jakarta, tata kelola air hanya berfokus pada pembenahan aspek distribusi saja, tanpa memperbaiki aspek rekognisi dan partisipasi. Tanpa memperhatikan ketiga aspek tadi secara komprehensif dalam memperbaiki tata kelola air di suatu daerah, ketimpangan bisa saja terus terjadi.

Hal ini dapat dilihat dari kebijakan terkait tata kelola air yang sudah diterapkan di Jakarta, yaitu cross subsidy tariff, flexible payment mechanism, dan master meter program. Ketiga program tersebut, kata Marwa, melupakan fakta bahwa banyak warga menengah bawah yang tidak termasuk kualifikasi dari penerima bantuan program tersebut. Contohnya, kebijakan flexible payment mechanism dimaksudkan untuk mempermudah pembayaran bagi para menengah ke bawah, tetapi kebijakan ini tidak mempertimbangkan warga menenang ke bawah yang dianggap ilegal dan tidak punya izin tinggal.

Di Jakarta, tata kelola air terjadi dalam beberapa lapisan skala, mulai dari skala internasional, nasional, hingga kota. Marwa menunjukkan sebuah skema kerja pengelolaan air di Jakarta dan seluruh aktor yang terlibat di dalamnya, serta hubungan antar aktor tersebut. Namun, dari skema tersebut, terlihat bahwa skala terkecil dari tata kelola air yaitu tingkat komunitas dan rumah tangga justru tidak mendapatkan perhatian yang cukup banyak. Padahal, dalam dua skala komunitas dan rumah tangga, terjadi everyday water practices.

Kemudian Marwa memaparkan bagan everyday water practices yang ia adopsi dari bagan milik Allen, dan disesuaikan dengan kondisi yang terjadi di Jakarta. Sebagai pelengkap, Marwa juga menayangkan hasil wawancara yang pernah ia lakukan pada tiga perempuan dengan kondisi dan latar belakang yang berbeda-beda, yang hidup di pemukiman informal. Wawancara tersebut menunjukkan hasil yang menarik, bahwa perbedaan latar belakang dan kondisi yang dijalani oleh masing-masing perempuan berdampak pada everyday water practices yang berbeda-beda pula. Dan tentunya, hasil ini juga menunjukkan perempuan mana—dengan latar belakang apa—yang paling diuntungkan dalam everyday water practices.

Dalam kondisi pandemi saat ini, inisiatif kebijakan tata kelola air yang dilakukan oleh pemerintah Jakarta hanya menyediakan fasilitas mencuci tangan. Namun, masyarakat tetap harus membayar 500-800 ribu tiap bulannya untuk membayar air. Padahal, dengan adanya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), pendapatan masyarakat juga ikut terbatas dan menurun. Alhasil, masyarakat perlu menegosiasikan kebutuhan air dan sanitasinya. Dengan adanya pandemi COVID-19, urgensi tata kelola air yang lebih adil dan berkelanjutan menjadi lebih besar lagi. Di akhir pemaparan materi, Marwa merangkum beberapa poin dari materi yang ia sampaikan. Selain itu, Marwa juga memberikan rekomendasi terhadap isu tata kelola air di Jakarta.

Diskusi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang berlangsung cukup seru, sebab beberapa penanya menyampaikan pertanyaannya secara lisan sembari menceritakan pengalamannya terkait isu tata kelola air ini. Pada sesi tanya jawab ini, Marwa menekankan bahwa apa pun solusi yang ingin diterapkan terkait tata kelola air di Jakarta, tetap harus memerhatikan konteks yang sesuai dengan kondisi setempat. Sebelum diskusi ditutup, moderator mengajak seluruh peserta untuk menyalakan kamera gawainya dan berfoto bersama. Diskusi pun resmi diakhiri pukul 16:15 WIB. (/hfz)